IDTODAY.CO – Kabar Uganda yang masuk dalam jebakan utang China seraya memberi perhatian khusus bagi Indonesia.

Bagaimana tidak? Berdasarkan AidData, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan utang dari China dengan skema yang bermacam-macam.

Sebuah laporan berjudul ‘Banking on the Belt and Road: Insight from a new global dataset of 13,427 Chinese Development Projects’ menyebutkan dana-dana yang disalurkan China itu bertujuan untuk pembangunan jalur sutra melalui Belt and Road Initiative (BRI). Selama ini, BRI tersebut telah diberlakukan di banyak negara khususnya negara berkembang di Afrika dan Asia.

Nah di Indonesia sendiri dana tersebut digunakan untuk proyek infrastruktur. China memang memfokuskan BRI ini dalam industri energi dan infrastruktur.

Adapun infrastruktur yang dibiayai China di Indonesia adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Lalu apakah proyek tersebut akan menjadi jebakan utang China seperti yang baru-baru ini terjadi pada Uganda?

Baca Juga:  RI Ajukan Pinjaman ke China Rp 8 T Demi Tambal Bengkak Proyek Kereta Cepat

“Sangat-sangat bisa, kurang kuat apa Turki dulu kan, Turki kan juga hal yang sama Uganda. Malaysia kalau nggak terlambat Mahathir kena juga. Negara-negara yang waspada segera mengakhiri kan, Indonesia masih berlanjut terus,” kata Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu dikutip Minggu (5/12/2021).

Said Didu mengatakan, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) merupakan jembatan utama masuknya jebakan utang China. Jika proyek KCJB gagal, kata dia, kemungkinan China akan meminta kompensasi berupa proyek Kereta Jakarta-Surabaya dengan harga yang mahal atau mengakuisisi dan meminta proyek lain.

“Kalau itu gagal maka dia akuisisi. Pada saat dia akuisisi maka dia menguasai betul. Kalau masih gagal bisa-bisa minta pelabuhan minta bandara, begitu caranya. Modus China selalu, itu perangkap adalah perangkap kerja sama ekonomi penjajahannya,” terangnya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, penyitaan aset Bandara Uganda bisa saja hasil kesepakatan kedua negara. Namun, penyitaan oleh China itu memunculkan banyak asumsi di kalangan publik.

“Pertama tentu klausul pinjaman tersebut bisa saja klausul penyitaan memang termasuk di dalam pinjaman yang diberikan China di awal dan sudah disepakati kedua negara, asumsi saya seperti itu,” kata Yusuf.

“Saya tidak mengatakan bahwa kemudian proyek kereta cepat ini berpotensi juga (jebakan utang China). Tapi sekali lagi, Uganda bisa menjadi semacam pelajaran lah bahwa jika kita bertransaksi atau menjalin kerja sama pinjaman dengan China ada risiko seperti itu,” sambungnya.

Periode September 2015 Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk membatalkan proyek ini dengan menolak tawaran China dan Jepang. Saat itu pembatalan karena proyek ini disebut bisa membuat utang pemerintah membengkak.

Baca Juga:  Pemerintah Gelar Pertemuan dengan China, Bahas Hubungan Bilateral dalam Penguatan Penanganan Covid-19

Jepang langsung merespons dengan menawarkan pengurangan 50% yang harus dijamin oleh negara. Kemudian China menghapus seluruh syarat jaminan negara dan mengusulkan transaksi neraca di luar pemerintah.

Di sini China Development Bank akan meneruskan pinjaman ke sebuah perusahaan yang dibentuk atas patungan China dan Indonesia. Pada 2017 CDB meneken perjanjian pinjaman senilai US$ 3,96 miliar dengan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang 60% saham dimiliki oleh Indonesia dan 40% sisanya dimiliki China untuk mengerjakan proyek kereta cepat ini.

Pinjaman ini disalurkan dalam dua tahap yaitu US$ 2,38 miliar dan dalam renminbi senilai US$ 1,58 miliar. Dengan jatuh tempo 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun. Lalu tingkat bunga 2% untuk dolar AS dan 3,46% untuk renminbi.

Sumber: detik.com

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan