IDTODAY.CO – Cita-cita, menurutku, adalah impian masa depan tanpa bersandar pada pijakan realitas dan lingkungan. Cita-cita, menurutku, bisa menjadikan kita siapapun dan apapun yang kita mau tanpa harus mengeluarkan energi sepeserpun.

Cita-cita, menurutku, “hiburan” masa kini dengan orientasi kebahagiaan di masa depan. Cita-cita bukan sesuatu yang buruk asal diperjuangkan. Beda dengan khayalan, hanya menerbangkan pikiran tanpa ada tolok ukur dan langkah nyata untuk menggapainya.

Sewaktu kecil, anak-anak seusiaku punya cita-cita, yang anehnya, hampir tidak ada saat ini yang bisa menggapainya. Ada yang ingin jadi dokter, eh taunya jadi pegawai toko. Ada yang ingin jadi pilot, jadinya petani. Ada yang ingin jadi polisi, eh taunya jadi pembalap.

Pertanyaannya, kenapa demikian??

Jawabnya, karena yang mereka bicarakan waktu kecil itu adalah khayalan dan angan-angan, bukan cita-cita sebagaimana didefinisikan.

Beda lagi dengan cita-cita sewaktu sudah dewasa. Sewaktu awal-awal kuliah misalnya, para senior selalu mendengungkan bahwa mahasiswa itu adalah agent of change dan agent of control. Mereka selalu menanamkan, mahasiswa harus bisa menjadi pemantik perubahan sekaligus menjadi control terhadap kinerja pemerintahan.

Narasi singkat tersebut, telah mendistorsi pemikiran seorang mahasiswa baru, mereka harus menjadi orang yang benar-benar baru di kehidupan yang akan datang. Semuanya, serba diarahkan pada urusan tata kelola kenegaraan.

Padahal, sewaktu kecil, seingatku, cita-citaku tak se-extrem itu. Aku hanya ingin jadi orang sukses dan membahagiakan orang tuaku. Sederhana memang, tapi menurutku, itu adalah konsep hidup terindah. Mungkin, karena belum tahu bahwa sukses dan membahagiakan orang tua sangat tak mudah.

Baru dibangku kuliah aku menemukan kenyataan, “hidup” itu tidaklah mudah. Apalagi membawa cita-cita besar untuk diperjuangkan. Bukan hanya soal diri sendiri, lingkungan, tapi juga “macro cosmos” harus juga diperhatikan.

Harus mulai memprediksi masa depan, mengukur kemampuan dan menyiapkan langkah langkah strategis untuk menggapai keinginan. Bukan lagi tentang diri sendiri, orang lain juga dapat menjadi kunci.

Semester demi semester berlalu tanpa menunjukkan penjelasan jadi siapa aku nantinya. Tapi, seingatku, aku bisa bertahan sampai hari ini, karena aku bawa “bekal”, setidaknya aku punya pengetahuan. Meskipun sedikit, Tapi itu hasil nyata dari perjuanganku, setidaknya untuk saat ini.

Aku coba browsing tentang peran pengetahuan dalam kehidupan dan “dunia masa depan”. Kutemukan petuah bijak seorang yang disakralkan umat Islam, salah satu imam mazhab, Muhammad Ibn Idris asy-syafi’i namanya. Beliau menuturkan:

من لم يذق ذل التعلم ساعة   تجرع ذل الجهل طول حياته

“Barang siapa tidak mau merasakan payahnya belajar walau sesaat saja, Niscaya ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidup”

Pepatah tersebut membuatku terbangun dari mimpi panjangku, cita-cita hanyalah angan, tapi belajar dengan tekun adalah keniscayaan.

Tidak penting kita jadi siapa, paling utama kita punya pengetahuan untuk menjalani ketentuan nasib kita yang telah digariskan oleh-Nya. Jadi apapun nantinya, ilmu pastilah bekal utama.

Maksudku, dunia kadang aneh, tak pernah mau tahu kita maunya apa, yang dia beri juga apa.

ماكل مايتمنى المرء يد ركه     تجري الرياح بما لا تستح السفن

“Tidak semua cita-citamu akan tercapai,  kadang angin bertiup berlawanan dengan tujuan pelayaran”

Pada saat seperti itu, hanya kemampuanmu yang akan menjadi pengawal setiamu..[Brz]

Be Yourself…

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan