Saifuddin adalah sosok pria yang pernah bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal pencari ikan berbendera negara lain itu tengah asyik mengganti-ganti saluran televisi di kediamannya yang berada di salah satu sudut kota Bandung, Jawa Barat.

Sampai ketika di salah satu saluran menayangkan berita soal pelarungan jenazah yang dilakukan awak Kapal China terhadap ABK asal Indonesia.

Kasus ABK itu tengah mencuat setelah mereka melaporkan dugaan eksploitasi dan pelanggaran HAM ke petugas kala kapal merapat di Busan, Korea Selatan.

Pandangan dan pikirannya langsung tertuju pada pemberitaan yang sangat erat kaitannya dengan kehidupannya sekitar 11 tahun silam.

“Saya langsung ingat masa lalu,” kata Saefudin memulai kisah nelangsanya sebagai ABK kepada CNNIndonesia.com, Jumat (8/5/2020).

Bukan tanpa alasan Aep, sapaan karib Saefudin, berhenti sebagai ABK meski telah sepuluh tahun kurang lebih berlayar mengelilingi samudera, pekerjaan ini bagi dia benar-benar menantang maut.

Di samping itu, Saefudin mengaku pekerjaannya sebagai ABK itu penuh perlakuan tak manusiawi bila dilihat dari beban kerja, jam kerja yang berlebihan, hingga pendapatan yang benar-benar masuk ke kantong bukan yang dijanjikan.

“Setelah lepas dari perompak itu saya memutuskan tidak lagi bekerja sebagai ABK,” kata Aep.

Kembali ke tahun 2005, tahun yang menjadi titik awal perjalanannya sebagai pelaut berdarah Bandung, Aep mengaku ‘dibodohi’ tetangganya sendiri hingga akhirnya dia terjun sebagai ABK kapal milik negara lain. Kala itu, dia diiming-imingi gaji ratusan ribu dolar. Tanpa pikir panjang, Aep pun mengikuti saran tetangganya itu untuk menjadi pelaut.

Baca Juga:  Kritik Perbudakan ABK, PP Muhammadiyah: Nyawa Rakyat Lebih Tinggi Dari Nilai Ekonomi Dan Investasi

Dalam pikiran Aep kala itu bukanlah ABK yang bekerja kasar melempar jaring besar, tetapi bekerja di kapal pesiar mewah dengan pendapatan ratusan dolar.

Tak butuh waktu lama, semua berkas sudah lolos. Aep pun mendapat pekerjaan sebagai ABK di salah satu perusahaan perkapalan besar milik Taiwan.

Singkat cerita, Aep kemudian diajak menandatangani kontrak kerja untuk pelayaran pertama. Dia mengaku bertemu dengan agen dan langsung disodori beberapa lembar kertas. Agen tersebut hanya minta Aep menandatangani berkas tanpa membaca satu baris kalimat pun yang ada di dalamnya.

“Semua tulisannya mandarin semua. Saya mau baca gimana, ya langsung ditanda tangan saja,” kata dia.

Belakangan dia tahu, surat-surat itu adalah perjanjian kontrak kerja dengan isi yang tak masuk akal dan memberatkan dirinya. Dan, akhirnya di tengah penderitaan beban kerja yang tak manusiawi itu, Saefudin bertahan bekerja sebagai ABK di beberapa kapal hingga yang terakhir Win Far 161. Pasalnya, Aep terikat utang yang harus ia lakukan saat hendak melamar jadi ABK. Jadi sebelum utang yang tak kecil itu lunas, kala itu Aep mengaku bertekad untuk mencoba tetap bertahan

Suntik morfin demi kerja puluhan jam

Hari-hari Aep sebagai ABK ternyata tak seperti yang dibayangkannya. Bahkan untuk sekedar duduk santai menyeruput kopi pagi di tengah samudera pun, kata dia, tak bisa.

“Karena kalau sekali lempar jaring itu kita harus pegang, kadang kalau ikan lagi banyak harus tahan berdiri sampai 48 jam,” kenangnya.

Baca Juga:  ABK Diperlakukan Seperti Budak, Sukamta: Pemerintah Tak Punya Taji Hadapi Tiongkok

Melepas jaring adalah pekerjaan paling berat, sebab jaring yang ada di kapal-kapal ikan bukanlah jaring ikan biasa, tetapi lebar dan besar.

Aep mengaku bisa tertidur hanya dalam waktu dua jam, untuk kemudian dia akan terjaga hingga 40 jam ke depan. Tentu kegiatan seperti ini sangat melelahkan dan menguras tenaga.

Kapal tempat dia bekerja pun bersiasat dengan obat-obatan yang diberikan kepada setiap ABK dengan dosis yang berbeda-beda. Aep sendiri mengaku mendapat jatah suntik morfin dari perusahaan untuk menjaga staminanya hingga bisa bekerja berpuluh-puluh jam tanpa tertidur.

Dia juga bercerita soal kualitas kesehatan di atas kapal yang bisa dibilang sangat buruk.

“Enggak ada dokter atau perawat, ruang kesehatan juga tidak ada. Anehnya kami juga tidak pernah merasa sakit. Mungkin karena terlalu lelah bekerja sehingga tak ada waktu untuk mengeluh sakit,” tuturnya.

Tak ada alat komunikasi yang bisa digunakan. Aep mengatakan kala itu merasa keluarga, kerabat, teman yang ada di daratan seperti ilusi karena sangat jauh untuk dijangkau.

Terkadang, kapal memang akan bersandar di Pelabuhan. Biasanya mereka bersandar hanya sekadar mengganti suku cadang. Tetapi tentu pilihan tempat untuk bersandar pun adalah negara dengan pajak paling murah.

Maka tak heran, ABK yang melaut bisa dikira sudah meninggal. Tanpa kabar, tanpa jejak, apalagi yang pergi melalui agen tidak resmi, hidup syukur mati tak apa.

Sebab selain tak berkabar, kapal yang membawa ABK WNI ini juga sering memilih negara yang tak memiliki kedutaan Indonesia sebagai tempat berlabuh.

Baca Juga:  Ustadz Tengku: Pemerintah Wajib Panggil Dubes China, Jangan sampai Rakyat Kita Dianggap Sampah

“Saya makanya sering bilang, kalau jadi buronan atau punya masalah di Indonesia, kabur saja. Kabur jadi ABK pasti tidak akan pernah tertangkap,” selorohnya.

Pemerintah entah kemana

‘Orang bodoh dan miskin butuh perlindungan, butuh dibimbing agar tak salah langkah”. Itulah yang selalu terbersit di pikiran Aep setelah ‘lulus’ dari profesinya sebagai ABK tak berdokumen resmi.

Menurut dia, semakin banyaknya agen-agen ‘tidak resmi’ yang menjadi penyalur ABK tanah air ini ada campur tangan pemerintah yang membiarkannya berkembang biak.

Itulah yang ia rasakan sejak menjadi ABK, apalagi setelah insiden pembajakan pada 2009 lalu yang menimpa kapalnya. Aep sendiri mengaku kurang melihat upaya pemerintah terhadap perlindungan ABK WNI.

“Saya masih ingat dulu ketika saya disandera di Somalia. ABK dari negara lain dijemput sampai kepala negara mereka datang, saya? Dari Bandara saja saya naik bus pulang ke rumah,” kenangnya.

Bagi Aep, pemerintah dari masa ke masa hanya bermulut manis.

“Bagi saya, kalau tidak ada benar-benar aksi nyata saya tidak bisa percaya kalau kehidupan ABK bisa lebih terjamin,” katanya

Aep ebih memilih berwiraswasta di kotanya. Meski begitu dia tak pernah melupakan kawan satu perjuangannya ketika menjadi ABK. Bahkan setiap kali mendengar kisah pilu soal ABK, Aep tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Sebab, pengalaman selama sepuluh tahun mengajarkannya untuk lebih merasakan.

“Saya sedih, karena saya tahu betapa susahnya jadi ABK, bahkan mati pun dibuang begitu saja ke lautan ” katanya.

Sumber: beritatrans.com

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan