RUU HIP Harus Dicabut, Bukan Hanya Ditunda

Ujang Komarudin,(Foto: tribunnews.com)

IDTODAY.CO – Pakar politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mencabut dengan tegas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Pasalnya, penundaan sementara pembahasan RUU tersebut bisa memicu terjadinya konflik horizontal akibat luapan emosi publik yang tidak terkendali.

 “Kalau ini sekadar ditunda, lalu nanti diubah namanya atau judul undang-undangnya, lalu dibahas lagi oleh DPR maka itu berpotensi terjadi eskalasi konflik ke depan. Jadi, ini bukan hanya pertarungan soal elite, tapi ini persoalan konflik horizontal di depan,” kata Ujang Komarudin sebagaimana dikutip dari sindonews.com (29/6/2020).

Konflik horizontal tersebut, bibit-bibitnya sudah mulai bisa dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi yang menyebabkan an-nur jadinya pembakaran bendera partai PDIP. demonstrasi tetap berlangsung di berbagai daerah walaupun sedang dalam kondisi Covid-19.

“Artinya, kalau eskalasi saat ini saja sudah ramai begitu, apalagi saat undang-undang ini berjalan. Kalau ditunda, suatu saat nanti bisa dibahas lagi. Ini kemungkinan besar akan memicu konflik di kemudian hari,” ungkapnya.

Baca Juga:  Akademisi: RUU HIP Memiliki Potensi Timbulnya Konflik Antarnorma

Pernyataan Ujang Komarudin tersebut merupakan respon atas pernyataan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin bahwa DPR akan menyetop pembahasan RUU HIP.

“Pemerintah dan DPR jangan main api. Ini masyarakat sedang marah, sedang geram terkait RUU HIP. Kalau sekadar menyetop, itu kan kalau berhenti bisa maju lagi. Kalau kita mengendarai mobil, stop kan bisa jalan lagi ini mobil. Tapi kalau dibatalkan, dicabut dari Prolegnas, ini clear. Artinya mereka tidak akan membahas lagi,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu menyinggung banyaknya aksi protes dari kalangan di berbagai daerah. menurutnya situasi kondusif negara bisa terancam akibat polemik yang ditimbulkan oleh RUU tersebut.

Sementara itu terkait maksud penguatan terhadap Pancasila melalui pembuatan undang-undang yang menguatkan kelembagaan BPIP, menurut Ujang, tidak dapat dikaitkan dengan RUU HIP.

Baca Juga:  Aliansi Muslimin Tulungagung Bersatu: Seret Penggagas dan Inisiator RUU HIP Ke Pengadilan

“Sekarang apakah Pancasila tidak kuat? Kalau penguatan itu harus berbanding lurus dengan pasal-pasal yang ada. Bagaimana ada ekasila, trisila, itu kan mereduksi Pancasila. Seharusnya kalau memang memperkuat oke, tapi kalau isi dan pasalnya mereduksi, melemahkan, melumpuhkan Pancasila, kan ini menjadi persoalan,” urainya

Tidak adanya keterkaitan tersebut terlihat dalam frase berketuhanan yang berkebudayaan. “Di mana landasan ketuhanan lalu menjadi landasan berkebudayaan. Ini kan memperlemah. Ini menjadi catatan penting bagi kita sebagai anak bangsa. Jangan sampai bermain di arti-arti pasal atau makna-makna yang bias. Kalau memang memperkuat silakan, oke, tapi nyatanya RUU tersebut berisi hal-hal yang kontraproduktif dengan Pancasila itu sendiri,” ucapnya.

Melihat kenyataan tersebut, Ujang dapat memaklumi ormas-ormas besar Islam seperti MUI, NU dan Muhammadiyah melakukan protes keras terhadap RUU tersebut. “Mereka tidak akan bergerak, tidak akan protes kalau tidak menemukan hal-hal yang berbahaya dalam isi undang-undang itu,” ucapnya.

Baca Juga:  Nabil Haroen: Politik Timur Tengah Jangan Impor ke Indonesia

Mestinya, kata Ujang, untuk memperkuat Pancasila, pemerintah membuat UU Pelestarian Pancasila,  bukan malah membuat RUU HIP. “Justru Pancasila itu harus dilestarikan. Kalau diperkuat tapi isinya aneh-aneh itu bagaimana?,” Herannya.

lebih lanjut, pujangga wanti-wanti pemerintah untuk tidak suatu lembaga yang memiliki kekuasaan penuh untuk menafsirkan Pancasila seperti BPIP. Ia khawatir, nantinya Pancasila akan menjadi legitimasi kekuasaan untuk berbuat sewenang-wenang.

“Kalau memang ada lembaga itu untuk mencari format terbaik yang bagus, yang itu bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa. Bukan hanya bisa diterima oleh partai tertentu atau kekuasaan. Jangan sampai nanti ada upaya memperkuat Pancasila, kemudian ada lembaga seperti P4, tapi lembaganya itu legitimasi kekuasaan dan tidak diterima oleh masyarakat. Ini juga kontraproduktif,” ucapnya.[brz/nu]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan