IDTODAY.CO – Ketua SETARA Institute, Hendardi menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) terjebak dalam politik akomodasi. Hal itu terlihat dari ketidak Tegaskan pemerintah menindak dan membubarkan kerumunan massa pendukung Rizieq. Tidak hanya pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat.

Bukan kali ini saja, tapi sejak merangkum rivalnya dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto ke kubunya, Jokowi telah menempuh jalur akomodasi politik secara pragmatis.

“Orientasi politik akomodasi adalah terciptanya stabilitas politik dan keamanan. Tetapi akomodasi pragmatis tanpa basis ideologi dan gagasan justru telah menyandera Jokowi dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis. Pembiaran atas kerumunan yang diciptakan oleh massa pengagum MRS adalah bukti kegagapan Jokowi dalam kalkulasi politik yang menjebaknya,” tegas Hendardi dalam keterangan tulis, sebagaimana dikutip dari Merdeka.com, Minggu (15/11).

Jika Jokowi tak terjebak politik akomodasi, maka Kepala Negara diyakini akan bersikap tegas terhadap kerumunan massa. Bahkan tak menutup kemungkinan memerintahkan untuk menindaklanjuti sejumlah kasus yang sempat dituduhkan ke pemimpin FPI tersebut.

“Seharusnya sebagai seorang Presiden Jokowi segera memerintahkan Kapolri untuk menindak kerumunan, mempertegas dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit MRS (Muhammad Rizieq Syihab), memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan,” urainya.

Baca Juga:  Polemik Tas Bansos Bertulis "Bantuan Presiden", Komisi IX DPR: Menterinya Ingin Mendapat Poin

Menurutnya, politik akomodasi kepentingan lain di luar kepentingan negara akan terus menjerat Jokowi jika presiden enggan membuat terobosan untuk menindak berbagai aksi dimaksud.

“Bisa jadi stabilitas politik dan keamanan akan terjaga akan tetapi kepemimpinannya telah melahirkan preseden buruk sekaligus merusak demokrasi dan supremasi hukum, alih-alih mewariskan legacy,” urainya.

Pembiaran negara atas kerumunan massa yang mengiringi rangkaian kedatangan Rizieq Syihab semakin menciptakan paradoks kepemimpinan politik Jokowi dan jajarannya dalam penanganan Covid-19.

“Jangankan kewajiban menjalankan protokol kesehatan, prinsip hukum salus populi suprema lex esto (asas yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi) yang selama ini digaungkan oleh para pejabat negara dan aparat keamanan, sama sekali tidak berlaku bagi kerumunan yang diciptakan oleh kedatangan MRS,” urainya.[merdeka/brz/nu]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan