IDTODAY.CO – Dirut TVRI Iman Brotoseno, mengatakan Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang Jenderal-jenderal yang dibunuh.

Hal itu disampaikan Iman Brotoseno di blog miliknya http://blog.imanbrotoseno.com/kesaktian-pancasila-masih-relevan/#more-3654 dalam karyanya berjudul “Kesaktian Pancasila. Masih relevan ?”

Iman Broroseno mengatakan, tanggal 1 Oktober ya selalu diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila hanya menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah masa lalu.

“Sekian lama kita membenarkan tindakan pembantaian itu, merupakan pembalasan yang dilakukan rakyat, sebagai reaksi atas tindakan kekerasan yang sebelumnya dilakukan oleh anggota PKI,” kata iman Brotoseno sebagaimana dikutip dari Suaranasional.com (31/5/2020).

Iman Brotoseno mengatakan, kita banyak melupakan pembantaian kepada mereka yang dianggap komunis, lebih banyak menyasar kepada orang-orang yang tidak bersalah. Tidak hanya keluarga para korban. Tapi juga guru guru yang tak tahu politik dan hanya ikut berteriak “Guru lapar mereka tak bisa mengajar“.

Baca Juga:  Kontributor ‘Playboy’ jadi Dirut TVRI, Wasekjen Demokrat: Tak Ada Kandidat Lain yang Lebih Pantas?

“Bagaimana kita menjelaskan ribuan guru yang hilang dari sekolah sekolah dalam periode tersebut. Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadap wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra,” terangnya.

Tidak hanya pembunuhan, tetapi juga penindasan. Isteri isteri anggota Angkatan Udara yang diludahi di pasar pasar paska G 30 S. Anak anak korban yang tidak bisa memperoleh pekerjaan karena alasan ‘ tidak bersih lingkungan ‘. Belum mereka yang diusir dari rumahnya, karena rumah mereka diambil secara paksa.

Iman Brotoseno kemudian menjelaskan banyak sekali pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI. Jasad mereka “ditanam” tidak hanya di lubang buaya yang berada di sumur pondok Gede.

“Setelah dibantai, mereka dilempar ke Watu Ongko Tuban, jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan masih banyak lubang lubang dan jurang di penjuru negeri,” paparnya.

kemudian iman Brotoseno memberikan rasa adil terhadap keluarga terduga yang dilakukan oleh organisasi pemuda sipil selama masa penumpasan.

“Beranikah kita meminta maaf kepada keluarga Suranto, seorang kepala sekolah menengah di Pare, Kediri. Istrinya yang hamil 9 bulan di tangkap pemuda pemuda dari organisasi sipil. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa yang akan menolong mereka, karena para pemuda memperingatkan tetangga, bahwa barang siapa menolong anak anak itu tidak dijamin keselamatannya,” jelasnya.

Lebih lanjut, iman Brotoseno meminta bangsa Indonesia untuk meminta maaf dan melupakan sejarah kelam masa lalu.

“Tidak ada salahnya, jika bangsa ini meminta maaf terhadap kesalahan-kesalahan masa lampau. Ketakutan bahwa permintaan maaf akan membuka luka lama, tak perlu ditakuti, karena sejarah tak harus ditutupi. Kalau kelak rekonsiliasi ini tercipta, Pancasila tak perlu lagi diperingati kesaktiannya. Ia cukup dihayati karena kebajikannya,” tandasnya.[Brz]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan