Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim (Praktisi Kesehatan)

3 Maret 1924, tepat pada 96 tahun silam, ialah hari dimana ummat kehilangan perisainya. 96 tahun ummat hidup tanpa adanya khilafah islamiyyah yang pernah berjaya menguasai 2/3 belahan dunia selama 13 abad. Runtuhnya kekhilafahan terakhir di Turki Utsmani, menandakan terbukanya lembaran awal dari hilangnya sebuah sistem peradaban Islam yang menyatukan kaum muslim di bawah  satu kepemimpinan berlandaskan syariat Islam. Hilangnya sistem khilafah juga berarti hilangnya daulah Islam yang merupakan perwujudan dari penerapan ideologi Islam secara kaffah. Lalu bagaimana perkembangan ummat hari ini 96 tahun tanpa perisainya?

Hal pertama yang bisa diindra oleh akal sehat kita ialah kini umat muslim terombang ambing ibarat buih di lautan. Apa maksudnya? Hal ini menunjukkan perumpamaan buih yang muncul, lalu tenggelam, muncul lagi, kemudian hancur dan hilang di tengah lautan, menggambarkan kondisi ummat yang kini hidup dalam kebingungan, tidak memiliki pegangan serta berjalan dalam kegelapan, karena saat ini kita sudah tidak lagi hidup dalam sebuah aturan yang benar.

Fakta inipun telah dikabarkan oleh Rasulullah bahwa musuh-musuh Islam akan memangsa kaum muslimin sebagaimana orang-orang menyerbu makanannya. Hari ini kita telah melihat bahwa negeri-negeri kaum muslim diserbu serta dipecah belah. Iraq, Afghanistan, Yaman, Sudan, Somalia, Palestina, Indonesia, Philipina, Maroko, dan negeri-negeri lainnya telah memberikan kesaksian tentang sabda Rasulullah. “Nyaris tiba ketika banyak umat yang memperebutkan kalian, seperti orang-orang yang memperebutkan hidangannya.” Kemudian seseorang bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit pada hari itu?” Beliau menjawab, “Tidak, Justru jumlah kalian banyak pada saat itu, tetapi ibarat buih di lautan. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut pada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan pada kalian penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad).

Lalu yang kedua ialah tanpa khilafah, ummat kini diatur oleh hukum jahilyah. Dibawah pengaturan hukum jahilyah yang saat ini didominasi oleh kaum kuffar dalam sistem kapitalis, kehidupan terasa semakin sempit, kacau serta kerusakan terjadi dimana-mana. Pembunuhan menjadi headline berita sehari-hari. Aborsi sudah dianggap hal biasa. Fenomena anak bunuh orang tua atau orang tua membunuh anak bukan lagi hal yang langka. Tingkat pemerkosaan, pelecehan dan kelainan orientasi seksual ibarat fenomena gunung es yang semakin hari makin bertambah luas. Persis kembali seperti kebiasaan orang-orang jaman jahilyah yang juga diatur oleh hukum jahilyah sebelum turunnya sang mutiara ummat Rasulullah shalallu ‘alaihi wasallam.

 Yang ketiga, tanpa perisai ummat yakni khilafah, kaum muslimin terjerembab dalam cengkeraman ideologi kapitalisme sekularisme yang melakukan  penjajahan di berbagai bidang, hingga menyebabkan ummat menderita dibalut kemiskinan. Hingga hari ini, dibawah status 74 tahun kemerdekaan Indonesia, kemiskinan masih menjadi PR besar bagi negeri dengan sumber daya alam terbesar. Padahal kita hidup ditengah sumberdaya laut dan perairan yang luas, hutan membentang, sawah menghampar, sumber daya tambang dengan simpanan yang begitu besar dan beraneka ragam, serta kekayaan hayati baik hewan dan tumbuhan yang sangat luar biasa, namun ternyata kemiskinan masih menjadi soal utama. Banyak kepala keluarga yang tak mampu membiayai hidup keluargnya dibawah mahalnya berbagai kebutuhan pokok. Bahkan kasus-kasus stunting, human traficking, gizi buruk, anak terlantar dan berbagai kasus lainnya tetap saja terus bermunculan, seolah tak ingin pergi dari negeri ini, pun begitu dengan negeri kaum muslim lainnya yang masih hidup dalam bayang-bayang imperialisme barat.

Lalu yang keempat, tanpa adanya perisai, darah kaum muslim dengan mudah ditumpahkan, dan perkara Hak Asasi Manusia (HAM) hanyalah dongeng semata. Dalam Islam, hukum asal darah seorang manusia ialah terlindungi dan haram hukumnya untuk ditumpahkan. Hal ini meliputi muslim bahkan orang kafir sekalipun. Darah seorang manusia terlindungi dan haram untuk ditumpahkan kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Oleh karenanya, segala tindakan yang berpotensi mengarah pada tumpahnya darah seorang manusia secara zalim juga telah tegas diatur oleh islam. Jika darah orang kafir saja dilindungi dalam Islam, maka tentu darah seorang muslim jauh lebih layak dan lebih berharga untuk dijaga serta dilindungi. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. at-Tirmidzi).

Maka solusi yang hakiki dari semua permasalahan yang kini menyandera ialah dengan mengembalikan perisai ummat yang telah hilang selama 96 tahun lamanya. Selain menolak lupa dengan peristiwa 3 Maret 1924, sebagai ummat yang menggenggam aqidah islam, kita pun seharusnya menolak diam. Menolak diam dan tak berbuat apa-apa ditengah kondisi ummat yang butuh antivirus ampuh untuk sebuah virus berbahaya yang bernama sistem jahilyah, yang tidak lain dan tidak bukan ialah kapitalisme-sekulerisme. Karena penyebab segala kerusakan di bumi saat ini ialah disebabkan jauhnya kita dari sistem Islam, serta penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Benarlah firman-Nya dalam surat ar-Rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan  karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan  mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Kita hidup mulia dengan Islam, dan kini kita terhina karena meninggalkannya. Lalu tidakkah kita merindukan kembali akan hadirnya perisai ummat dengan segala keagungannya sebagaimana yang telah tercantum pula pada bisyarah Rasulullah?

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan