Oleh: Irma Setyawati, S.Pd ( aktivis muslimah Pasuruan)

Datangnya musibah covid-19 adalah sesuatu yang di luar kekuasaan kita sebagai manusia sebagaimana musibah banjir, tanah longsor, gempa bumi, dll yang tidak memandang siapapun bisa menjadi korbannya, baik itu orang yang baik maupun orang yang buruk. Maka tidak selayaknya kita menyaksikan adanya diskriminasi terhadap pasien, keluarga dan tenaga medis berupa cap negative, pengucilan dan pengusiran dari kos hingga penolakan jenazah covid-19 karena takut tertular.

Diskriminasi ini terjadi  tidak lepas dari minimnya pemahaman yang benar di tengah  masyarakat terhadap virus covid-19 itu sendiri dan  bagaimana cara-cara penyebarannya hingga status positif covid-19 ketika meninggal apakah jenazahnya masih berpeluang untuk menularkan virus  ke yang hidup,dll. Kepanikan berlebihan itulah yang menimpa masyarkat saat ini sehingga mereka berhalusinasi terhadap sesuatu tanpa ada bukti  ilmiyahnya.

Dalam kondisi yang seperti ini perlu ada pemberian edukasi yang massif dan merata di tengah masyarakat yang di lakukan oleh negara lewat perangkat dan aparaturnya untuk memberi gambaran jelas hakikat covid-19, penularannya dan pencegahannya. Termasuk bagaimana memperlakukan jenazah covid-19. Sehingga masyarakat tidak mencari sendiri-sendiri lewat media social yang tentunya di ragukan kebenarannya.

Baca Juga:  "Indonesia Terserah" Bukti Kebijakan Tanpa Arah

Selain pemahaman akan hakikat secara ilmiah tentang covid-19. Masyarakat juga harus mendapatkan edukasi berupa pemahaman-pamahaman  agama tentang bagaimana orang yang terkena wabah dan bagiamana orang yang sehat memposisikan saudaranya yang terkena wabah. Maka Syariat Islam mengajarkan bahwa yang terkena wabah dia harus ridlo mengkarantina dirinya agar tidak menularkan virus kepada yang lainnya. Bahkan ada pahala syuhada jika dia mengkarantina diri.

Dan bagi yang sehat, di satu sisi  Islam mengajarkan untuk tidak berinteraksi secara fisik dengan yang terkena wabah . Akan tetapi di sisi yang lain Islam mendorong bersikap ta’awun (saling tolong menolong) untuk memabantu pemenuhan kebutuhan saudaranya yang terkena wabah. Sehingga secara fisik dan psikis orang yang terkena wabah dan masyarakat yang sehat sama-sama merasakan ketenangan.

Baca Juga:  Pembentukan Lembaga Pengawas Medsos Kominfo Berpotensi Mematikan Demokrasi Menuju Negara Komunis

Selain itu juga perlu ada pandangan positif yang di bangun di tengah-tengah masyarakat terhadap orang yang meninggal karena terkena wabah. Agar mereka memuliakannya, bukan malah menghinakannya. Apalagi sampai menolak pemakamannya. Karena Allah SWT sendiri menyebut orang yang meninggal karena terkena wabah, mereka adalah syuhada’ akhirat (jika mereka muslim dan meninggal dalam keadaan terikat dengan aturan Allah SWT).

Syuhada akhirat adalah orang yang meninggal tidak karena  berperang di jalan Allah SWT di dunia. Akah tetapi di akhirat dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang meninggal di jalan Allah SWT. Maka sudah selayaknya mereka di hormati.

Sebagaimana layaknya jenazah yang lainnya, jenazah covid-19 harus mendapat perlakuan dan hak-hak yang sama dari orang yang masih hidup yaitu di mandikan, di kafani, di sholati dan di makamkan. Walaupun protokolnya berbeda dengan jenazah selain covid-19 sebagai bentuk kehati-hatian saja. Walaupun hingga hari ini tidak ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa jenazah covid-19 akan tetap bisa menularkan virisnya ke orang yang masih hidup.

Baca Juga:  Menyoal Pernyataan Kitab Fiqih Adalah Produk Perang Salib

Tentunya agar tidak terjadi kedzoliman di tengah masyarakat terhadap ODP,PDP, positif covid-19 hingga jenazahnya. Maka di butuhkan peran masyarakat, ulama’ bahkan negara yang tentunya memiliki perangkat seperti media massa, aparatur negara ,dll yang mengedukasi bahkan menjerat secara hukum ketika ada di tengah masyarakat yang main hakim sendiri terhadap mereka-mereka yang terkena wabah.

InshaAllah dengan edukasi dan pengawalan ketat oleh  negara sebagai penjaga keamanan dan ketenangan di tengah masyarkat, maka musibah covid ini segera berakhir, termasuk musibah berupa diskriminasi. Wallahu a’lam bish showab

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan