Bagaimana Menurunkan Bunga Kredit

Ilustrasi bank(Foto: Shutterstock)

Oleh: Dr. Nugroho SBM, MSi

Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 16 sampai 17 Septmber 2020 memutuskan salah satunya adalah menahan suku  bunga acuan BI yaitu BI 7 Days Repo Rate di tingkat 4 persen. Kebijakan menahan BI -7 Day Reverse Repo Rate tersebut didasarkan pertimbangan untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang terjaga rendah dan pandemi Covid19 yang masih berlangsung.

Namun jika dilihat sejak awal tahun 2020 (Januari 2020) maka BI-7 Day Repo Rate sudah diturunkan oleh BI sebesar 100 basis poin. Adapun penurunan tersebut adalah Februari 2020 diturunkan menjadi 4,75 persen dari sebelumnya 5 persen,  Maret 2020 diturunkan lagi menjadi 4,5 persen, Juni 2020 diturunkan kembali menjadi 4,25 persen, dan Juli 2020 diturunkan kembali menjadi 4 persen yang kemudiandipertahankan sampaiRapat Dewan Gubernur September 2020.

Meskipun tidak secara langsung, butuh jeda waktu sekitar 3 bulan, bunga deposito dan bunga kreditpun turun mengikuti turunnya BI 7 Day Repo Rate. Posisi September 2020, bunga deposito rata-rata 1 bulan sebesar 5 persen. Sementara deposito 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan rata-rata 5,1 persen. Jadi tingkat suku bunga deposito sudah berada pada tingkat yang rendah, apalagi jika dibandingkan dengan sasaran tingkat inflasi yang ditetapkan BI di tahun 2020 sebesar 3 persen plus minus1 persen.

Masalah di Bunga Kredit

Yang menjadi masalah adalah bunga kredit.  Bunga kredit juga menurun seiring penurunan BI-7- Day Repo Rate dan bunga deposito. Namun penurunan bunga kredit terbilang “seret”. Sejak awal tahun 2020 sampai September 2020 baru menurun 74 basis poin. Jadi lebih kecil dari penurunan BI 7 Day Repo Rate pada periode yang sama sebesar 100 poin.Di samping lamban penurunannya, suku bunga kredit juga masih bertengger di tingkat yang tinggi. Suku bunga kredit saat ini rata-rata masih di besaran 9,99 persen, meskipun sudah menurun dibanding rata-rata tahun lalu sebesar 10,73 persen. Akibatnya pertumbuhan kredit di kuartal kedua 2020 hanya 1,49 persen (yoy), menurun dibanding kuartal pertama 2020 sebesar 2,7 persen (yoy).

Baca Juga:  Kantor Wali Kota Jakarta Pusat Ditutup 3 Hari, 6 Pegawainya Positif Corona

Ada beberapa sebab atau faktor mengapa suku bunga kredit bertengger di ingkat yang tinggi. Pertama, meskipun suku bunga deposito rata-rata sudah cukup rendah namun suku bunga “negosiasi” masih cukup tinggi. Yang dimaksud suku bunga negosiasi adalah suku bunga yang ditentukan tersendiri dan tidak diumumkan. Suku bunga ini adalah hasil negosiasi antara para deposan besar dengan bank. Ditengarai sumber dana pihak ketiga terbesar bank berasal dari para deposan besar ini.Hal ini terungkap dari data OJK yang menyatakan deposan besar yang hanya berjumlah 1 persen dari total deposan besar tetapi jumlah deposito mereka mencapai 50 persen lebih dari total deposito. Maka wajar jika suku bunga negosiasi masih tinggi mak bunga kreditpun tinggi juga.

Kedua, sampai saat ini sturuktur pasar bank di Indonesia masih bersifat oligopolistik. Artinya pasar perbankan sampai saat ini masih dikuasai oleh bank-bank besar milik negara (Bank BUMN). Bank-bank BUMN tersebut  tentu ditarget penerimaannya untuk setor ke APBN. Maka mereka akan memaksimalkan pendapatannya dengan menentukan selisih atau marjin yang tinggi antara suku bunga deposito dengan suku bunga kredit. Bank-bank lain yang merupakan pengikut tentu akan mengikuti suku bunga kredit yang ditetapkan oleh bank-bank BUMN.

Ketiga,  resiko pemberian kredit yang masih tinggi. Pelambatan ekonomi akibat pandemi covid19 masih berlangsung. Maka resiko dalam pemberian kredit masih tinggi. Akibatnya bank   menambahkan premi resiko ke suku bunga kreditnya.

Keempat, biaya overhead bank yang masih tinggi. Biaya tersebut antara lain berasal dari biaya pembangunankantor dan kantor cabang serta biaya pembangunan ATM. Seringkali untuk menamppilkan diri sebagai bank yang bonafid atau terpercaya, bank membangun kantor-kantor yang megah. Biaya overhead yang tinggi ini kemudian juga dibebankan ke bunga kredit.

Kebijakan Menurunkan Bunga Kredit

 Lalu kebijakan apa yang bisa dilakukan untuk menurunkan suku bunga kredit bank? . Pertama, memberikan batasan bunga simpanan dan deposito bagi deposan-deposan besar yang saat ini belum diatur maksimalnya. Dengan diatur batas maksimalnya maka akan mempermudah penurunan bunga deposito dan pada akhirnya bunga kredit.

 Kedua, bank-bank BUMN hendaknya menjadi pelopor dalam penurunan bunga kredit. Untuk itu, target  penerimaan untuk setoran ke APBN hendaknya juga jangan terlalu tinggi. BI dan Presiden Jokowi hendaknya bisa memanggil pimpinan bank-bank BUMN untuk segera menurunkan suku bunga kreditnya

Ketiga, untuk menurunkan persepsi tentang tingginya risiko kredit akibat stagnannya bahkan negatifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia maka mau tidak mau kebijakan fiskal berupa pencairan dana untuk berbagai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mendongkrak konsumsi dan investasi perlu dipercepat.

Baca Juga:  Jokowi Jelaskan Penanggungjawab Vaksin: Yang Gratis Urusan Menkes, Yang Berbayar Urusan BUMN

Keempat, untuk meningkatkan efisiensi maka bank-bank sudah saatnya menggunakan teknologi digital dimana transaksi baik simpanan  maupun kredit dilakukan secara digital seperti yang dilakukan  para pelaku fintech (financial technology). Dengan demikian, hal itu akan menghemat biaya pembangunan cabang atau gedung dan ATM.

Kebijakan Non-Bunga

Di samping kebijakan-kebijakan untuk menekan turunnya bunga kredit, kebijakan BI untuk mendorong pertumbuhan kredit secara langsung maupun tidak langsung perlu terus dilakukan. Beberapa kebijakan telah dilakukan.

Pertama, pembebasan uang muka kredit kendaraan (mobil dan motor) berwawasan lingkungan (berenergi listrik dan semi berenergi listrik). Ketentuan ini berlaku mulai 1 Oktober 2020. Perlu diikuti dengan jenis kendaraan bermotor jenis lainuntukmendongkrak kredit.

Kedua, BI juga telah melakukan pelonggaran likuiditas (qantitative easing) dan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM). Pelonggaran likuiditas tersebut sudah mencapai jumlah Rp 66,2 triliun. Dengan likuiditas yang longgar maka jumlah uang beredar meningkat dan bisa menurunkan suku bunga. Kebijakan ini perlu diteruskan.

Ketiga, BI juga sudah berbagi beban dengan pemerintah. Berbagi beban itu diwujudkan dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang jumlahnya mencapai Rp 143,46 triliun. Ini juga akan meningkatkan jumlah uang beredar dan dengan demikian akan ikut menurunkan suku bunga. Ke depan kerjasama BI dengan pemerintah ini perlu diteruskan.

(Dr. Nugroho SBM, MSi, Dosen FEB Undip Semarang)

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan