Oleh: M Habib Pashya
(Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia)

Baru-baru ini, dalam laporan tahunannya kepada Kongres yang bertajuk “Pembangunan Militer dan Keamanan yang Melibatkan Republik Rakyat China 2020”, Pentagon mengabarkan bahwa China berencana membuka pangkalan militer di Indonesia.

Pernyataan Pentagon itu didasarkan pada Belt and Road Initiatives (BRI) yang digagas Beijing pada 2013. Dalam proyek ini, China fokus pada pembangunan dan pengembangan infrastruktur darat, laut, dan udara, termasuk proyek pangkalan militer. China juga dikabarkan memiliki dana US $ 150 miliar atau per tahun untuk membangun proyek tersebut.

Laporan tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa China memandang Myanmar, Thailand, Singapura, Indonesia, Pakistan, Sri Lanka dan negara-negara lain di Afrika dan Asia Tengah sebagai lokasi yang tepat untuk fasilitas militer.

Memiliki pangkalan militer di negara-negara tersebut akan menawarkan keuntungan yang signifikan, terutama akses ke Tentara Pembebasan Rakyat atau People Liberation Army ke pelabuhan yang dipilih untuk mendukung kebutuhan logistik. Seperti di Djibouti, pangkalan militer China di sana digunakan untuk memberikan dukungan operasional, bantuan pemulihan bencana, pengamanan jalur komunikasi, keamanan dan aset asing untuk PLO.

China menanggapi laporan tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada fakta yang jelas. Beberapa orang mengatakan, bagaimanapun, tanggapan Beijing hanya untuk mengurangi ketegangan di antara masyarakat.

Penolakan yang sama juga dilontarkan oleh China saat beredar rumor akan membuka pangkalan militer di Laut China Selatan. Pada kenyataannya, bagaimanapun, China terus membangun pangkalan militer di sekitar Paracel dan Kepulauan Spratly, meskipun pembangunan tersebut mengancam stabilitas keamanan dan kedaulatan negara-negara yang berselisih.

Catatan sejarah seperti itu membuat sebagian orang percaya bahwa Indonesia bisa menjadi target berikutnya.

Baca Juga:  Tak Kuat Disiksa di Kapal China, Dua ABK Indonesia Melompat ke Laut


Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menanggapi laporan tersebut dengan mengatakan bahwa Indonesia tidak akan menjadi pangkalan militer bagi negara manapun, sesuai dengan kebijakan luar negerinya (yang melarang pihak mana pun).

Apapun masalahnya, ada dua kemungkinan implikasi bagi Indonesia jika China benar-benar ingin membuka pangkalan militer di Indonesia.

Implikasi yang mungkin terjadi

Belakangan ini, hubungan pertahanan Tiongkok-Indonesia telah membaik setelah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menerima Menteri Pertahanan Tiongkok Wei Fenghe di Jakarta. Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari kunjungan Prabowo di tahun 2019 untuk membahas kerja sama pertahanan dan Covid-19.

Peningkatan kerja sama pertahanan Tiongkok-Indonesia dapat mempengaruhi rencana Tiongkok untuk membuka pangkalan militer di Indonesia.

Bagi Indonesia, implikasi utamanya adalah hilangnya kewenangan atas Natuna.

Pembukaan pangkalan militer tersebut akan membuat China memiliki posisi yang lebih kuat untuk mengklaim Natuna sebagai bagian dari sembilan garis putus-putus. Meski Indonesia akan menolak sembilan garis putus-putus tersebut, namun tidak efektif jika China mendapatkan sikap yang lebih kuat di Natuna dengan merebut wilayah.

Militer China akan kuat dan bebas beroperasi di Natuna. Dengan kata lain, Indonesia hanya punya pulau dan Cina punya air. Hal ini menyebabkan nelayan kehilangan pekerjaan yang dapat mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan di masyarakat.

Fakta lain, China berpotensi leluasa mengoperasikan militernya hingga ke Selat Malaka. China berambisi Selat Malaka akan menjadi jalur perdagangan yang akan melewati Samudera Hindia lalu ke Afrika.

Arus perdagangan Indonesia akan dikuasai oleh China sehingga China berpotensi membangun pangkalan militer lainnya di sekitar Selat Malaka. Hal ini berimplikasi pada kedaulatan Indonesia dan kesejahteraan nelayan atau masyarakat.

Baca Juga:  Belajar Di Rumah Di Tengah Pandemi

Tidak hanya itu, jika Indonesia mengizinkan China, maka Indonesia akan menjadi titik awal bagi China dalam menyebarkan hegemoni di Asia Tenggara. Berawal dari Natuna Utara, China akan memiliki peluang lebih besar dalam memperluas hegemoni di Asia Tenggara. Dengan mampu mencaplok wilayah Natuna dan menjalankan jalur sutra, Indonesia akan semakin bergantung pada China.

Laut China Selatan, Natuna memiliki sumber daya yang melimpah seperti 40 persen gas alam, 12 persen tangkapan nelayan dunia di Natuna, dan 30 persen minyak mentah. Dengan kondisi tersebut, China berpotensi menjadi importir terbesar di Indonesia. Jadi, Indonesia akan membeli sumber daya alam yang diperoleh China di Natuna. Hal tersebut akan menyebabkan tata niaga Indonesia dikuasai oleh China melalui jalur laut atau laut.   

Masalah lainnya adalah Amerika Serikat akan mengambil sikap. Sebagai mitra Indonesia, Amerika Serikat menarik investasinya dari Indonesia sebagai bentuk perlawanan. Kemungkinan terburuknya adalah Amerika Serikat akan mengerahkan militernya di Natuna dan menjadikannya tempat pertempuran antara China, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Indonesia akan menjadi negara ketiga yang kalah. Amerika Serikat tentu sangat marah dengan apa yang dilakukan China ketika dapat beroperasi di Natuna utara. Ketegangan yang berlanjut di Laut China Selatan, Amerika berencana menyerang China karena melanggar kebebasan navigasi dan latihan militer di Laut China Selatan.

Dengan demikian, Amerika Serikat tidak akan membiarkan China menjadi lebih kuat di Laut China Selatan, apalagi menguasai Natuna. Oleh karena itu, Amerika Serikat dapat terlibat dalam ketegangan dengan China, dan implikasinya bagi Indonesia besar. Hal tersebut dapat berupa ketidakstabilan kawasan dan blokade jalur laut.

Apalagi jika China dibiarkan membuka pangkalan militer di wilayah Indonesia, maka Indonesia akan kehilangan prinsip yang ditetapkan oleh sikapnya, mendayung di antara dua karang, yaitu bebas aktif. Sikap dunia internasional akan semakin membatasi kerjasamanya dengan Indonesia dan menganggap Indonesia sebagai negara yang tidak lagi netral. Dengan begitu, Indonesia akan kehilangan citra di mata dunia internasional.

Respon Indonesia

Untuk itu, Indonesia harus tetap berhati-hati dalam menentukan kebijakan, terutama dalam menyikapi rencana China untuk membuka pangkalan militer. Prinsip bebas aktif yang menjadi dasar politik luar negeri harus selalu dijunjung tinggi. Ini menjamin Indonesia yang berpotensi kehilangan kedaulatannya secara rutin.

Ketergantungan Indonesia pada China di bidang investasi akan terus berlanjut jika Indonesia sangat membutuhkannya untuk meningkatkan perekonomiannya. Namun, jika kita berbicara tentang kedaulatan, terutama yang terkait dengan pembangunan pangkalan militer, seharusnya hal itu tidak dilakukan.

Jawaban terkait ZOPFAN dan prinsip bebas aktif ini persis seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Namun, untuk mengurangi potensi dibukanya pangkalan militer oleh China, Indonesia harus mengubah sikapnya.

Banyak negara Teluk yang berpotensi menjadi mitra Indonesia selain China, seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman. Dalam beberapa tahun terakhir, kerja sama antara Indonesia dan Teluk telah meningkat, tetapi terbatas. Hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaku dalam mengeluarkan kebijakan luar negeri.

Indonesia harus mengubah sikap yang selama ini bergantung pada China dan kini mencari mitra baru, yakni Teluk. Fakta ini semata-mata untuk mereduksi hegemoni Tionghoa di Indonesia melalui jalur sutra.(*)

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan