Oleh: Raisa Adzkiyya, S.Pi  (Staf Pengajar Sangatta KUTAI TIM UR)

Di kala pandemi corona masih menjadi fokus penanganan di tengah masyarakat, DPR RI dikabarkan bakal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Koalisi masyarakat sipil (KMS) menyorot langkah DPR RI  tesebut yang masih menggodok sejumlah perundang-undangan, di antaranya revisi UU Minerba yang telah rampung melakukan draf inventarisasi masalah (DIM) pada akhir Februari lalu.

Informasi yang dihimpun KMS Kaltim, Rapat Kerja Komisi VII DPR RI akan dilangsungkan pada Rabu 8 April 2020 secara Protokol Waspada  covid-19 (secara fisik dan virtual meeting), dengan Jajaran Komisi dan 5 Menteri (Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral/ESDM, Menteri Dalam Negeri/Mendagri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia/Menkumham, Menteri Perindustrian/Menperin dan Menteri Keuangan/Menkeu) untuk Pengambilan Keputusan RUU Tentang Pertambangan Minerba. (https://kaltim.tribunnews.com/2020/04/05/dpr-ri-terus-muluskan-revisi-uu-minerba-KMS-tuding-tak-punya-simpati-di-tengah-pandemi-corona)

Kombinasi absennya pengutamaan kepentingan bangsa dengan ketergesaan pembahasan revisi UU minerba tak dapat dihindari merebakkan aroma  bau tak sedap. Ada tujuh maskapai pertambangan batubara besar yang akan segera terminasi (berakhir masa kontrak) yang merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama dengan kapasitas poduksi terbesar yaitu PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT  Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama serta PT Berau Coal.

Korporasi-korporasi tambang ini mencemaskan keberlanjutan operasi tambang mereka,  yang  bergantung pada perpanjangan kontrak atau izin melalui perubahan PP No 23 Tahun 2010  yang telah direvisi bekali-kali demi mengakomodasi kepentingan mereka. Kepentingan untuk segera melakukan revisi UU Minerba berikut turunannya sering kali bersembunyi dibalik dalih pentingnya kepastian hukum buat para pelaku usaha pertambangan serta upaya memperbesar porsi penerimaan negara dari sektor tambang.

Baca Juga:  Stop Islamophobia!

Namun faktanya, negara lemah ketika berhadapan  dengan maskapai tambang raksasa ini. Pemerintah telah berulang kali membeikan kelonggaran-kelonggaran kepada para pelaku usaha tambang.

Sepanjang  2012-2016, kontribusi penerimaan pajak minerba secara rata-rata hanya mencapai 2,8%, dengan besaran kontribusi sejak 2014-2016 stagnan dikisaran 2%. Rasio pajak  (tax ratio) pertambangan minerba sendiri selalu mencatatkan angka yang berada dibawah rasio pajak nasional, dengan tren yang terus menurun.

Belum lagi potensi kerugian negara yang lain, misalnya dalam bentuk unreporting transaction, yang berdasarkan penelusuan sebuah lembaga  menyebutkan bahwa khusus batubara sepanjang 2010-2016 terindikasi sebesar USS 27,06 milia atau setara Rp 365,3 tiliun. https://mediaindonesia.com/read/detail/27694-revisi-uu-minerba-untuk-siapa)

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah melanjutkan, ada beberapa pasal yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat jika RUU Minerba ini disahkan. Misalnya, pasal 165 di RUU Minerba yang memiliki kecenderungan melindungi pejabat korupsi yaitu dengan menghilangkan pasal pidana terdapat pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah. Padahal sebelumnya, mestinya di sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Peluang land banking, juga menurutnya akan menjadi berbahaya. Dikarenakan perusahaan tambang akan bisa menguasai tanah dalam skala besar setidaknya 8 tahun. Pasal 115A di RUU Minerba juga dikritik bisa membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang.

Baca Juga:  Corona Singkap Kebobrokan Sistem Hukum Sekuler

Tak hanya itu, Peneliti Tambang dan Energi Auriga Iqbal Damanik juga menyebut, RUU Minerba ini akan memuat perubahan pasal 169 sebagai upaya pemutihan renegosiasi kontrak kontrak Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sehingga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang. (https://kumparan.com/kumparanbisnis/mau-sahkan-ruu-minerba-kala-pandemi-corona-dpr-banjir-kecaman)

Kepentingan Segelintir Elit Kapitalis

Upaya DPR mengesahkan RUU Minerba ditengah wabah menegaskan watak rezim kapitalis yang hanya berpihak pada kepentingan segelintir elit kapitalis dan abai terhadap kemaslahatan rakyat. Kapitalisme telah menggeser peran negara sebagai pengelola kekayaan alam milik rakyat.  Negara menjadi sekedar regulator pengelolaan kekayaan alam.

Pada elit kapitalis ini oportunis ditengah wabah bahkan hilang empati terhadap derita rakyat. sistem demokrasi yang diusung harusnya bisa demokratis, adil, malah menjadi racun bagi rakyat. SDA yang harusnya bisa digunakan untuk kepentingan rakyat, terlebih lagi di saat wabah melanda negri.

Negara bukan satu-satunya yang mengelola, swasta pun diizinkan untuk mengelolanya. Bahkan negara  tidak memiliki independensi dalam menyusun aturan ditandai  dengan keberadaan UU yang pembuatannya diintervensi oleh asing dan kepentingan kalangan kapitalis. Sistem  ini menjalankan konsep kebebasan kepemilikan dalam ekonominya. Konsep ini membebaskan manusia bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun tanpa melihat halal haram.

Sistem Islam Menjamin Kepemilikan Individu

Berbeda dengan Islam, Islam mewajibkan negara untuk menjamin kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Seluruhnya diatur dan dibatasi dengan hukum syariah dan tidak  boleh dilanggar oleh siapapun. Adapun minerba termasuk dalam kepemilikan umum.

Baca Juga:  Guru Masih Gagap Teknologi Dalam Pembelajaran Jarak Jauh?

Pemanfaatan kepemilikan umum ada dua. Pertama, pemanfaaatan secara langsung oleh masyarakat umum (bisa dimanfaatkan oleh siapa saja) seperti api, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, maka negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum aga tidak menimbulkan  kemudharatan bagi masyarakat.

Kedua, pemanfaatan dibawah  pengelolaaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya yang besar sepeti minyak bumi, gas alam  wajib dikelola  oleh negara. Hasilnya dimasukkan kedalam kas negara sebagai sumber pendapatan utama APBN  untuk kepentingan rakyat.

Adapun barang tambang yang tidak dapat dikonsumsi rakyat seperti emas, perak, tembaga, batubara bisa dijual keluar negeri dan keuntungannya temasuk keuntungan  pemasaran dalam negeri dibagi kepada rakyat dalam bentuk uang, barang, membangun sekolah-sekolah gratis,  rumah sakit-rumah sakit gratis dan pelayanan umum gratis.

Juga keterlibatan swasta dalam mengelola kekayaan alam hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah/kontak, maka islam melarang adanya kontrak karya seperti perusahaan-perusahaan  minerba yang ada.

Demikianlah, jika sistem ekonomi islam diterapkan maka akan bisa memenuhi kebutuhan, tercapainya kesejahteraan masyarakat dan membawa kemaslahatan.

Wallahu a’lam

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan