Hambatan dan Solusi Digitalisasi UMKM

Dr. Nugroho SBM, MSi. (Foto: jatengtoday.com)

Oleh: Dr. Nugroho SBM, MSi

Bank Indonesia (BI) mendorong para pelaku UMKM untuk melakukan digitalisasi keuangan. Yang dimaksud digitalisasi keuangan adalah semua yang terkait dengan keuangan UMKM antara lain: pembayaran, pinjaman, dan pembukuan dilakukan secara digital. Khusus untuk sistem pembayaran, BI telah meluncurkan QR Code Indonesia Standard (QRIS). 

Digitalisasi ini, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam berbagai kesempatan untuk mensosialisasikan Cetak Biru (Blueprint) Sistem Pembayaran Indonesia 2020-2025, khusus untuk UMKM akan memilki beberapa keuntungan. Pertama, praktis karena tidak usah membawa uang tunai dalam jumlah besar yang merepotkan antara lain memakan tempat. Kedua, menghindari berbagai resiko membawa uang tunai, seperti: hilang, rusak, adanya uang palsu, dan resiko yang lain. Ketiga, mempercepat transaksi. Dan keempat, bagi konsumen dan juga UMKM yang menjual produk maka transaksi selalu pas jumlahnya meskipun transaksi dalam pecahan sehingga tidak repot mencari uang kembalian dan konsumen tidak dirugikan karena pembulatan ke atas dari transaksi yang dibayarnya.

Disamping alasan yang telah disebutkan, ada alasan lain mengapa UMKM mendapatkan keuntungan dari melakukan digitalisasi keuangan. Keuntungan tersebut adalah UMKM dapat merambah ke pasar generasi milineal atau generasi muda. Melakukan transaksi digital bagi generasi muda atau milineal tidak sekedar mempertimbangankan berbagai hal seperti yang sudah disebut tetapi juga merupakan gaya hidup atau gengsi. Bagi pelaku UMKM dari generasi muda atau milineal maka digitalisasi dapat mengangkat citra (image) usahanya.

Belum Sepenuhnya Siap

Lalu bagaimana perkembangan digitalisasi keuangan UMKM sampai saat ini? Menteri Koperasi danUMKM Teten Masduki menyatakan bahwa sekarang ini baru  13 persen atau 8 juta UMKM yang terhubung online, sebanyak 87 persen masih offline.

Pernyataan Teten Masduki tersebut diperkuat oleh sebuah survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC)  tentang kesiapan UMKM dalam melakukan digitalisasi yang  dirilis Juni 2020. Hasil survei menunjukkan dari skala 0 sampai 5, Indeks Kesiapan Digital UMKM Indonesia secara total (hasil rata-rata) ada di angka 3,6. Ini menunjukkan bahwa UMKM Indonesia belum sepenuhnya siap melakukan digitalisasi. Jika dirinci per komponen maka Indeks tersebut menunjukkan hasil sebagai berikut: indikator optimisme berada di angka 4,06; kompetensi 3,8; keamanan 3,4; dan kenyamanan di angka 3,06. Berarti yang paling kuat yang mendorong UMKM melakukan digitalisasi adalah optimisme  dan yang paling melemahkan adalah perasaan kurang nyaman dan kurang merasa aman. Masih di survei yang sama ditemukan bahwa makin tua usia pelaku UMKM makin rendah Indeks Kesiapan Digitalnya. Untuk pelaku UMKM usia di bawah 30 tahun Indeks Kesiapan Digitalnya 3,72, sementara yang berusia 40 tahun ke atas Indeks Kesiapan Digitalnya 3,46.

Temuan KIC tersebut juga diamini oleh Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki. Bahkan Teten Masduki mengatakan bahwa di samping ada yang belum masuk atau belum melakukan digitalisasi,UMKM yang sudah melakukan digitalisasipun ada yang berhenti di tengah jalan. Menurut Teten, UMKM yang telah masuk ke dunia digital yang bisa bertahan hanya sekitar 4 sampai 10 persen.

Hambatan

Ada beberapa hambatan UMKM dalam melakukan digitalisasi. Pertama, ketrampilan dan pemahaman di bidang digital yang masih kurang. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar UMKM berangkat dari usaha sederhana yang dikelola secara konvensional.Seringkali tingkat pendidikan pelakuknya juga tidak tinggi sehingga dunia digital merupakan hal yang sama sekali baru bagi mereka.

Baca Juga:  Luhut Panjaitan Sebut UMKM Tulang Punggung, Himbara Salurkan Rp4,2 T

 Kedua, kapasitas produksi UMKM yang masih terbatas.  Melakukan digitalisasi dalam keuangan maupun bisnis harus siap dengan produksi dalam skala besar karena pasarnya tidak hanya lokal tetapi juga nasional bahkan global. Sementara banyak UMKM yang skala produksinya terbatas karena keterbatasan modal.

Ketiga,  ketatnya persaingan di bisnis dan keuangan yang didigitalisasi. UMKM seringkali yang akan masuk ke bisnis dan keuangan yang didigitalisasi merasa minder atau takut karena harus bersaing dengan usaha besar yang sudah lama eksis dan punya citra produk yang bagus.

 Keempat, masih belum optimalnya infrastruktur pendukung untuk digitalisasi pada umumnya dan untuk UMKM pada khususnya. Berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU) kecepatan internet seluler di Indonesia lebih lambat daripada rata-rata kecepatan internet seluler di negara Asia. Kecepatan download seluler di Indonesia menurut riset EIU adalah 14 Mbps. Sementara angka kecepatan download rata-rata negara Asia adalah di angka 30,9 Mbps.  Belum lagi kalau bicara masalah jaringan internet. Sudah banyak ditayangkan di TV bagaimana banyak pelajar bahkan mahasiswa  yang kesulitan dalam Kegiatan Belajar Mengajar secara daring (online) karena kesulitan sinyal dan itu ada diPulau Jawa. Kondisi di luar Jawa tentu ada yang lebih parah.

Baca Juga:  Dampak Corona, Risma: Sebetulnya Yang Paling Terimbas Adalah UMKM Yang Kecil Sekali

Solusi

Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan agar digitalisasi UMKM bisa dipercepat. Pertama, melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada UMKM untuk melakukan digitalisasi bisnis dan keuangannya.Seperti yang dilakukan oleh BI dalam sosialisasi QRIS secara masif kepada masyarakat dan juga UMKM. Perlu sinergi dari berbagai pihak untuk melakukan sosialisasi dan pendampingan digitalisasi kepada UMKM yaitu: Kementrian dan Dinas UMKM, BI, auniversitas, Perbankan, OJK,dan Masyarakat atau LSM.

Kedua, perlu peraturan OJK dan mungkin juga BI seperti pernah diwacanakan oleh Teten Masduki untuk ”memaksa” UMKM melakukan digitalisasi yaitu dengan memasukkan syarat digitalisasi laporan keuangan UMKM untuk mengganti syarat agunan sebagai syarat untuk mendapatkan kredit bank. Hal ini akan memberikan insentif bagi UMKM untuk melakukan digitalisasi.  Tentu juga harus dilakukan pendampingan.Untuk itu kerjasama dengan perguruan tinggi bisa dilakukan.

Ketiga,bantuan-bantuan lain seperti kredit murah seperti yang sudah dilakukan oleh pemerintah, BI,dan OJK tetap diperlukan agar UMKM bisa memperbesar kapasitas produksinya sehingga siap melakukan digitalisasi dengan konsekuensi pasar yang luas yang membutuhkan produksi dalam skala besar.

 Keempat, dalam menghadapi persaingan dengan usaha besar didunia digital mungkin UMKM bisa bekerjasama dengan usaha besar atau bisa memproduksi produk yang spesifik yang tidak diproduksi oleh usaha besar.

  Kelima, perbaikan terhadap keterjangkauan dan jaringan internet tentu perlu terus dilakukan seperti yang dijanjikan oleh Pak Jokowi dengan konsep pembangunan “Tol Langit” nya..

Dr. Nugroho SBM, MSi,
(Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang)

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan