Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam/ Dosen dan Pengamat Politik

Data Badan Pusat Statistik  menunjukkan bahwa era kepemimpinan Jokowi banyak sekali mengimpor sayuran dari Cina untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ekonomi Faisal mengatakan impor sayuran trennya terus menanjak setiap tahunnya.  Demikian juga,  Indonesia tercatat sebagai importir buah-buahan. Bahkan, berdasarkan data 2019, dalam setahun Indonesia bisa mendatangkan buah dengan total US$ 1,5 miliar atau senilai Rp 22,5 triliun.

Indonesia juga menjadi importir gula terbesar di dunia dengan nilai sebesar US$ 2,1 miliar per tahun. Tren kenaikan impor itu sudah terlihat sejak tahun 2010. Kendati demikian, pada 2019 angka tersebut cenderung turun menjadi hanya US$ 1,4 miliar. Turunnya impor gula Tanah Air pada tahun lalu juga disebabkan oleh stok yang masih melimpah pada tahun lalu.(Idtoday.25/052020)

Jika melihat data-data yang disampaikan oleh Ekonom Faisal tersebut, muncul pertanyaan, apakah tidak berlebihan bila Indonesia harus mengimpor sayur dan buah-buahan? Apakah tanah di negeri ini sudah tidak mau lagi bersahabat dengan para petani dan menolak tanaman tumbuh di atasnya? Kenapa harus impor? Dan jawabannya dapat dilihat dari analisis berikut.

Pertama, Indonesia tidak kekurangan sayur mayur dan buah-buahan. Di setiap daerah pasti mampu memenuhi kebutuhan sayuran dan beberapa jenis buah-buahan lokal. Andai di suatu daerah itu kosong, cukup memasok dari daerah terdekat dan tidak perlu sampai ke luar negeri apalagi dari China jika hanya sayuran dan buah. Lalu, kenapa mesti impor?

Baca Juga:  Konser Yang Menyinggung Umat Islam

Kedua, impor sayuran dan buah-buahan biasanya diperuntukkan bagi supermarket, mall, atau minimarket yang punya banyak cabang seperti Indomaret, dan Hypermart. Pasokan sayur dan buah impor tidak dibutuhkan pasar-pasar tradisional. Tetapi tidak menutupi kemungkinan sayuran impor juga akan memenuhi pasar tradisional jika impor terus mengalir. Seperti buah impor yang juga telah mewarnai pasar buah lokal. Katakan saja buah apel, lemon, kiwi, dan sebagainya.

Ketiga, impor sayuran dan buah adalah imbas dari perjanjian MEA yang dicanangkan pada tahun 2015 lalu. Jelas, bagi negara yang mampu menekan negara lain seperti China akan diuntungkan dengan MEA. Sebab produk-produk mereka akan laris di eskpor. Sementara produk-peoduk lokal negata tujuan ekspor seperti Indonesia akan mati dan tak bernilai jual. Andaikan mampu bertahan, pasti dengan harga mahal karena kelangkaan produksi. Tentunya masyarakat akan lebih memilih barang yang murah dan impor dibanding barang lokal nanti mahal.

Keempat, impor sayuran memicu matinya pergerakan produksi bahan mentah lokal. Bahkan Menteri LBP pernah menyarankan agar petani jangan lagi menanam sayur. Peristiwa pembagian sayur gratis ditengah pandemi  menjadi bukti tidak adanya harga sayur lokal lagi. Jika impor sayur terus digenjot, bagaimana nasib petani sayur lokal? Bukankah semakin kendor?

Rasanya tidak lazim Indonesia mengimpor sayuran. Bagi para petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil kebun sayuran tentu akan mengalami derita dan menambah angka kemiskinan. Betapa sedih melihat para petani negeri yang tidak lagi dihargai barang produksinya. Padahal sebelumnya, sayuran lokal lah yang membanjiri supermarket, mall juga minimal market.

Bagaimana masyarakat akan makmur jika sumber pendapatannya dipangkas terus? Bagaimana negeri ini akan maju jika terus bergantung ada impor? Apalagi hanya untuk sayuran. Tidak cukupkah garam diimpor? Senjata diimpor? Beras diimpor? Jamu diimpor?  Apalagi usaha petani di negeri ini jika impor terus membanjiri? Produk lokal akan hilang karena didominasi impor.

Janji Presiden Jokowi salah satunya adalah menekan impor hingga Indonesia mampu mandiri tanpa impor. Kapan janji itu akan terealisasi? Mampukah Jokowi melawan arus global perjanjian dagang kapitalis? Satu periode sudah terjawab. Dan periode ini justru semakin parah. Bukannya mandiri dalam swasembada pangan, malah menjadi raja impor.

Selama Indonesia berada dalam tekanan kapitalis global, maka selama itu perjanjian politik ekonomi global akan menjerat negeri ini  yang tujuannya hanya untuk menjajah. Seharusnya pemerintah memacu petani agar terus meningkatkan produksi bahan mentah lokal seperti sayuran dan buah agar mampu memenuhi kebutuhan lokal. Disamping kualitas yang harus dijaga dan diperbaiki agar berdaya saing global. Dengan demikian, Indonesia tetap mampu bertahan ditengah arus pasar global bahkan mampu meningkatkan ekspor setelah kebutuhan lokal terpenuhi.

Baca Juga:  Pembentukan Lembaga Pengawas Medsos Kominfo Berpotensi Mematikan Demokrasi Menuju Negara Komunis

Semua itu bisa dengan mudah terwujud jika aturan yang diberlakukan di negeri ini adalah aturan Islam. Islam memberikan solusi dalam mengelola sumber daya alam dan  menghadapi pasar global. Dalam perspektif Islam, impor bukanlah hal yang harus diupayakan, melainkan harus dihindari sebisa mungkin. Pemerintah harus berusaha maksimal untuk mampu memenuhi kebutuhan rakyat tanpa mengambil jalan impor.     Meskipun perjanjian dagang diperbolehkan dengan negara-negara tertentu, tetapi perdagangan yang dilakukan tidak boleh merugikan negara dan rakyat. Apalagi jika sampai mengundang penjajahan. Keselamatan rakyat dan kedaulatan negara adalah hal utama yang harus jadi tujuan setiap perjanjian. Begitulah Islam mengatur kebutuhan dalam negeri dan perjanjian dagang antarnegara. Semuanya akan bisa terwujud jika peraturan yang diterapkan adalah syariat Islam. Sebagai aturan yang komplit bahkan hingga persoalan impor Islam juga mengaturnya. Wallahu a’lam bishshawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan