Oleh: Neng Ranie SN (Aktivis Muslimah)

Kebijakan memberikan asimilasi kepada narapidana seperti buah simalakama bagi pemerintah. Setelah dibebaskan para napi kembali berulah dan membuat publik resah. Seperti yang diketahui, pada bulan April 2020 Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) mengeluarkan kebijakan membebaskan narapidana dengan dalih pencegahan virus Corona di lapas yang kelebihan penghuni. Hingga saat ini sebanyak 39.241 narapidana yang dibebaskan. (sulsel-idtimes-com.cdn.ampproject.org, 08/05/2020)

Hingga bulan Mei 2020, jumlah napi yang kembali berulah dan ditangkap sebanyak 140 orang tersebar di 25 wilayah. Terbanyak berada di wilayah hukum Polda Jawa Tengah dan Polda Sumatra Utara masing-masing 17 orang. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan para napi tersebut melakukan ragam jenis kejahatan. Seperti penganiayaan, Pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan (curas), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), perjudian, pembunuhan, penggelapan dan pencabulan. (m.mediaindonesia.com, 28/05/2020)

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly digugat oleh tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sekaligus, yakni Yayasan Mega Bintang, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidak-adilan Independen, dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) ke Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, terkait kebijakan asimilasi terhadap narapidana di tengah pandemi Covid-19. Gugatan tersebut berangkat dari dampak kebijakan asimilasi napi yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat, lantaran dinilai meresahkan warga. (amp-kompas-com.cdn.ampproject.org, 26/04/2020)

Namun, Menkumham membantah, melalui Dirjen Pemasyarakatan Reynhard Silitonga menyebut narapidana asimilasi yang kembali berulah hanya sekitar 10-14 persen dari total 39.241 narapidana. Selain itu, angka residivis di Indonesia pun lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. (sulsel-idtimes-com.cdn.ampproject.org, 08/05/2020)

Astagfirullah al’adzim. Meskipun terlihat persentasenya rendah, tetap saja hal itu sebuah kejahatan yang menimbulkan keresahan warga. Menurut Kriminolog Universitas Indonesia, Ferdinand Andi Lolo mengatakan, rasa aman masyarakat tak bisa diukur dengan berapa jumlah narapidana yang kembali berulah. Bahkan, ada kemungkinan jika jumlah persentase merupakan narapidana yang hanya terdata atau dapat dikatakan yang tertangkap ketika beraksi. Sehingga, ada kemungkinan jumlahnya bisa lebih dari itu. (voi.id, 08/05/2020)

Baca Juga:  Revisi UU Minerba: Aset Rakyat Dijarah & Dominasi Taipan/Asing Berlanjut!

Beberapa faktor yang mendorong narapidana mengulangi perbuatannya, pengamat hukum pidana Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad menyebutkan di antaranya mereka memang memiliki karakter buruk, hukuman penjara belum berhasil membuat jera dan mengedukasi supaya menjadi orang yang lebih baik dan kesulitan mencari pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. (voi.id, 14/05/2020)

Kegagalan output kebijakan ini tidak lepas dari suprasistem yang menjadi arah pandang pemimpin saat ini, yaitu sistem kapitalis-sekuler. Gaya kepemimpinan ini hanya berorientasi pada sektor keuntungan materiil semata. Maka wajar, jika keamanan dan keselamatan rakyat bukanlah prioritas utama.

Inilah fakta bagaimana sistem kapitalis-sekuler menyelesaikan kriminalitas di tengah pandemi. Menyelesaikan masalah yang satu, tetapi menimbulkan masalah yang lain. Jelas, sistem ini telah gagal menjamin keamanan dan keselamatan warga serta gagal menjamin kebutuhan hidup narapidana. Sistem rusak dan merusak, yang hanya menimbulkan keresahan dan kesengsaraan rakyat.

Islam Solusi Tuntas Tangani Kriminalitas

Islam memiliki seperangkat aturan guna menyelesaikan kasus kriminalitas, solusi adil, efektif dan efisien. Peraturan ini telah terbukti memberi rasa aman yang luar biasa kepada rakyat, baik Muslim maupun non Muslim yang tinggal dalam wilayah jaminan khilafah. Hal ini, diabadikan oleh Will Durant seorang sejarawan barat. Dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dia mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”

Dalam Islam keamanan rakyat merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara, sehingga kasus kriminalitas dipandang sebagai kemaksiatan. Menegakkan hukum syariat Islam akan melenyapkan segala bentuk sumber kemaksiatan. Para pelaku kejahatan akan dihukum sesuai dengan sistem persanksian atau uqubat. Adapun Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yakni:

(1) Hudûd
Secara syar‘î, hudûd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudûd karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Hudûd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut: zina, homoseksual/ liwâth, qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi, minum khamar, murtad yang tidak mau kembali masuk Islam, membegal/ hirâbah (7) memberontak terhadap Negara/ bughâth, dan mencuri.

(2) Jinâyât
Jinâyât adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qishâsh (balasan setimpal) atau diyât (denda). Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah pembunuhan)/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan dan penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.

Qishâsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diyât) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qishâsh ataupun diyât tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.

(3) Ta‘zîr
Ta’zîr secara syar‘î bermakna sanksi yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafârat. Dalilnya adalah perbuatan Rasulullah ﷺ.

Kasus ta‘zîr secara umum terbagi menjadi: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) pelanggaran terhadap kemuliaan; (3) perbuatan yang merusak akal; (4) pelanggaran terhadap harta; (5) gangguan keamanan; (6) subversi; (7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.

Sanksi ta‘zîr dapat berupa: (1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8) penyitaan harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11) nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagian hak kekayaan (hurmân); (13) pencelaan (tawbîkh); (14) pewartaan (tasyhîr).

Baca Juga:  PDIP Lancang Mensejajarkan Khilafah dengan Komunisme, Ingin Menantang ‘Perang’ Umat Islam?

Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.

(4) Mukhâlafât
Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Syariat telah memberikan hak kepada khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.

Kemudian, sistem persanksian dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Disebut pencegah (zawajir) karena dengan diterapkannya sanksi, akan memberikan shock therapy sehingga orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah. Hukuman tersebut akan memberikan efek jera kepada siapa pun. Adapun yang dimaksud penebus (jawabir), dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Sanksi dijatuhkan kepada orang yang bermaksiat secara tegas dan tanpa membedakan status sosial, gender ataupun harta. Dan yang bertanggung jawab melaksanakan uqubat ini adalah negara bukan individu.

Maka wajar, apabila kasus kriminalitas dalam sistem Islam cepat terselesaikan secara efektif dan efisien, tanpa harus memasukkan pelaku kejahatan ke dalam jeruji penjara. Sekalipun terjadi kejahatan yang berujung sanksi penjara, maka khalifah akan membuat aturan yang tegas di dalam lapas. Sehingga praktik kejahatan di dalam lapas tidak akan terjadi. Memberikan pembinaan secara intens kepada para napi, sehingga dapat meningkatkan rasa takut dan memperkuat ketakwaan kepada Allah ﷻ.

Wallahu a’lam Bisshawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan