Oleh: Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Praktisi Pendidikan)

Di tengah pandemi ini, masih saja ada perilaku ‘unik’ para pejabat publik. Memberikan bantuan nampaknya jadi peluang untuk menampakkan citra baik ke tengah masyarakat. Ini pula yang disebut oleh banyak orang sebagai politisasi. Padahal, kehadiran para pejabat ke tengah masyarakat adalah sebuah keharusan bukan justru jadi ajang pencitraan.

Seperti halnya yang terjadi di Klaten, foto Bupati Klaten Sri Mulyani yang menempel di paket bantuan sosial (bansos) penanganan virus corona (Covid-19) memantik polemik. Kejadian bermula dari foto bansos yang viral di media sosial. Dalam paket bantuan hand sanitizer, tertempel wajah Bupati Klaten Sri Mulyani.

Tak hanya di tingkat daerah, politisasi bansos juga terjadi di tingkat nasional. Publik mempermasalahkan bantuan sosial yang digelontorkan pemerintahan Joko Widodo dengan nama Bantuan Presiden RI. Nama bansos itu dinilai seolah-olah bantuan dikeluarkan langsung oleh Jokowi. Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat.

Jikalau pemerintah mau membuka mata dan memperluas cakrawala berfikirnya, kesulitan yang dialami masyarakat saat ini sebenarnya adalah buah kebijakan yang mereka tetapkan.

Mereka yang diberi tanggung jawab untuk mengurus masyarakat justru tidak dijalankan dengan sebaik-baiknya. Salah satu kasus yakni nasib tragis yang dialami satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah.

Baca Juga:  Anwar Abbas, Apakah LGBT Masalah Kodrat Pak Mahfud?

Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu diketahui sedang hamil besar, dilansir dari kompas.com.

Banyaknya pencitraan yang dilakukan sebenarnya membuka tabir bagaimana sistem politik demokrasi. Sistem yang digadang-gadang keindahannya ini tak lebih hanya mencetak pemimpin penuh kepalsuan dan kamuflase. Pemimpin dan para pejabat yang dimunculkan sistem ini hanya sosok yang haus akan kekuasaan dan menghalalkan berbagai cara agar itu dapat terwujud. Mereka sibuk mencari simpati masyarakat melalui janji manis yang nihil untuk direalisasikan. Jika berkaitan kepentingan kekuasaan, pencitraan terus diumbar ke tengah masyarakat.

Ini sebenarnya tindakan yang mempermalukan wajah pemimpin atau pejabat itu sendiri. Pasalnya, sejak demokrasi berjalan di negeri ini berbagai problematika justru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Bukan hanya saat pandemic covid-19 ini berlangsung, sebelum ada pandemic saja masyarakat terus dirundung masalah yang tidak kunjung usai. Pemimpin pun enggan untuk peduli terhadap rintihan dan jeritan masyarakat yang miskin, kelaparan, tertindas,dan dizhalimi.

Para pemimpin ini justru disibukkan bagaimana mempertahankan kekuasaan atau berbagai kepentingan bisa berjalan lancar. Tanggung jawab terhadap masyarakat pun dikerjakan setengah hati. Sekalipun dikerjakan bukan karna ketulusan dan kesadaran tapi suara rakyat adalah senjata bagi mereka meraih kekuasaan kembali. Mudahnya, Demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal keserakahan dan syahwat ingin berkuasa para pemimpin saja.

Baca Juga:  Santri TPQ Al-Huda Peringati Maulid Nabi Sebagai Ungakapan Rasa Syukur dan Gembira

Islam adalah agama yang paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah kepemimpinan negara. Sistem kepemimpinan negara ini unik, berbeda dari sistem lain yang ada di dunia, baik itu kerajaan, republik maupun parlementer. Sistem yang disebut Imamah atau Khilafah, lahir dari hukum syara’, bukan lahir dari para pemikir di kalangan manusia. Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena yang menetapkannya adalah Sang Pencipta manusia.

Pemimpin dalam demokrasi hanya berfungsi sebagai eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa yang disebut “rakyat” tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan.  Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai negara. Dan tidak tulus menjalankan tanggung jawab terhadap rakyatnya.

Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki fungsi utama, sebagai raa’in bagi umat. Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:

Baca Juga:  Gonjang Ganjing Kartu Pra Kerja

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Dalam hadits tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.

Makna raa’in ini digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu. Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan. Bagaimana dengan para pemimpin dalam sistem demokrasi, apakah mungkin mereka bertindak sebagai raa’in tanpa pencitraan?

Sungguh pemimpin yang tulus menjalankan amanah sebagai raa’in hanya didapati ketika dalam naungan khilafah. Khilafah adalah negara yang menjadikan aqidah islam dan menerapkan islam kaffah sebagai aturan kehidupan. Para khalifah dalam naungan khilafah benar-benar menjalankan tugasnya dengan penuh kesadaran, sebab ketaatan dirinya pada Allah. Para khalifah jauh sekali dari politik pencitraan karna politik dalam islam bukan soal syahwat kekuasaan. Semoga khilafah islamiyyah segera tegak agar kita merasakan keberkahan dan ketaatan totalitas pada Allah ta’ala. Aamiin.. Wallahu a’lam bishshawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan