Ketika Pejabat Negara Tak Lagi Peka

Ambarwati/Foto/dok. Pribadi)

Oleh: Ambarwati
(Mahasiswi/Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok)

Saat ini, umat dibikin gerah, emosi  bahkan sakit  hati oleh pernyataan-pernyataan ngawur, bahkan sepertinya dijadikan lelucon dari pejabat tinggi negara terkait saran kebijakan-kebijakannya. Salah satunya seperti yang dikatakan Menteri kesehatan, “Dengan doa, bebas Covid-19.” Padahal tidak cukup dengan doa, perlu ikhtiar dengan lockdown skala nasional.

Dan Fachrul Razi sejak menjabat menjadi Menag hanya membahas  isu radikalisme. Celana cingkrang, cadar,  yang terbaru good looking, hafidz dan yang pintar bahasa Arab dibilang pintu masuk radikalisme. Ia pun bersikeras melakukan sertifikasi da’i. Padahal, MUI berlepas diri dari agenda Menag tersebut. Muncul pertanyaan umat, “Sebenarnya, Bapak Menag itu beragama Islam atau bukan?” Kenapa, pernyataan dan kebijakannya selalu berseberangan dengan Islam itu sendiri. Padahal, semua itu bagian dari syariat Islam. Belum lagi tindakannya menyunat dana BOS yang diprotes komisi DPR II. Ckck ambyar.

Sampai hari ini, sertifikasi ulama masih terus diagendakan oleh Menag, padahal bukan haknya Menag. Menag hanya bagian dari pemerintahan yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Jika ini terjadi, justru akan menjadikan ulama disetir oleh pemerintah dan akan disesuaikan dengan kepentingan mereka. Padahal ulama adalah penasehat kekuasaan yang harus netral antara penguasa dengan rakyat tanpa kendali siapa pun dan harus berpegang teguh pada peraturan buatan Allah semata bukan manusia.

Tentu saja, hal tersebut memancing emosi umat. Berbarengan dengan pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhirnya ini, umat Islam disuguhi kelakar para pejabat tinggi negeri yang sangat tidak solutif dan hanya membuat gaduh.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Mulai dari pemimpinnya yang jika ditanya selain dengan jawaban, “Tidak tahu”, “Saya bingung” dan “Lha, kok tanya saya!” Dan Menteri-menteri dengan pernyataan dagelan-dagelannya. Tidak ada keharmonisan serta kekompakan antara pemimpin dengan bawahannya dalam mengurusi rakyat. Terjadi miss komunikasi. Rakyat menilai bahwa para pejabat tinggi negeri  yang saat ini menduduki kursi jabatan tidak sesuai dengan keahliannya. Sehingga timbul pernyataan-pernyataan yang akhirnya menyakiti hati rakyat. Inilah yang terjadi ketika pejabat negara tak lagi peka terhadap penderitaan rakyat.

Dalam Islam, ada sebuah hadits yang mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: “ Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada sahabat bertanya, “Bagaimana  maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab, ”Jika urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Bukhari-6015).

Baca Juga:  Mengenal AR. Baswedan dan Partai Arab Indonesia (PAI) dalam Kiprah Perjuangan Nasionalisme

Benar sekali  yang diucapkan Rasulullah SAW. Kita bisa lihat, para pejabat/pemimpin tidak menjalankan anamahnya dengan baik bahkan menyia-nyiakannya. Bisa jadi para pejabat ini tidak mumpuni dengan amanahnya, tapi tetap dipaksakan. Terbukti sudah, jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya, jadinya seperti yang kita lihat saat ini. Banyak kebijakan-kebijakan yang ngawur, solusi yang diberikan pun tak berpihak pada rakyat, malah menambah beban rakyat. Bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru yang akan menghantarkan negeri ini ke jurang kehancuran. (*)

Baca Juga:  Halo Bung Iman Brotoseno, Kenapa Takut dengan Rekam Jejak Pro-PKI?

Biodata Penulis:

Nama: Ambarwati

Pekerjaan: Mahasiswa

Alamat: Mekarsari RT003/001 Cimanggis Depok

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan