Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd, alumni Pascasarjana Unlam

RUU Omnibus law merupakan undang-undang sapu jagat karena mampu memangkas peraturan lain yang dianggap bertentangan atau tumpang tinding. Berbagai aturan yang tercantum dalam undang-undang terdahulu siap direvisi untuk menggenjot realisasi investasi.

Salah satunya, undang-undang ketenagakerjaan (RUU Cipta Lapangan Kerja/ Cika) merupakan salah satu bahasan yang tercantum dalam draf RUU sapu jagat tersebut. Sekilas dilihat omnibus law Cika seakan memberi untung bagi pencari kerja dan buruh. Namun, semakin ke sini ternyata omnibus law Cika hanya ramah kepada investor tapi tidak buruh. Hal ini menuai aksi penolakan omnibus law Cika oleh buruh di beberapa daerah di Kalimantan Timur.

Diantaranya di Berau, perwakilan buruh dari tiga federasi yang ada di Kabupaten Berau masing-masing DPC F Hukatan KSBSI, FPE KSBSI, dan FKUI SBSI menemui Bupati Muharram pada Selasa (21/1/2019) lalu. Dihadapan Bupati, Perwakilan buruh mengajak bupati menolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Mereka menilai rancangan UU tersebut sangat merugikan parah buruh dan menguntungkan para pengusaha. (tribunnews)

Di Sangatta, aksi gabungan puluhan mahasiswa dan buruh dengan nama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Persatuan Perkerja Muslim Indonesia (PPMI), SPSI, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan Serikat Pekerja Sangatta Mandiri menggelar aksi penolakan RUU Omnibus Law yang disinyalir bisa membuat kesejahteraan buruh terancam. Aksi berlangsung Kamis (23/1/2020).

Dijelaskan penerapan upah per jam dikhawatirkan dapat mengakibatkan upah minimum terdegradasi bahkan hilang sehingga hal itu dinilai merugikan kaum buruh dan pekerja. Pihaknya mengkhawatirkan akan terjadi penggunaan sistem outsourcing atau kontrak lepas dan karyawan kontrak. Hal itu dikarenakan, RUU Cipta Lapangan Kerja membolehkan semua jenis pekerjaan menggunakan sistem kontrak dan bisa dikontrak lepaskan. (korankaltim)

Baca Juga:  Wamenkeu Sebut Omnibus Law Ciptaker Akan Berdampak Besar Terhadap Dunia Usaha

Di kota Samarinda aksi tolak paket omnibus law dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Samarinda di Simpang Empat Mal Lembuswana Kota Samarinda, Rabu (22/1/2020). Salah satu paket yang disorot adalah RUU Cika. Aksi GMNI Samarinda manyampaikan beberapa tuntutan. Pertama, menolak RUU Cipta Lapangan Kerja yang mereka yakini hanya berpihak pada pengusaha, bukan kaum buruh. Kedua, menuntut pemerintah memasukan dan melibatkan serikat buruh dalam perumusan kembali RUU Cipta Lapangan Kerja. Ketiga, menolak isi RUU Cipta Lapangan Kerja yang berdampak pada penurunan atau menghilangkan pesangon serta tidak adanya kepastian kerja akibat sistem fleksibilitas pasar kerja, penghilangan jaminan sosial, hingga menghilangkan sanksi pidana terhadap pengusaha. (tribunnews)

Demikianlah penolakan RUU omnibus law Cika di beberapa daerah Kaltim. Penolakan tersebut wajar terjadi, mengingat para pekerja khususnya buruh merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan UU tersebut. Jika buruh merasa RUU Cika tidak memihak mereka, ditambah suara mereka tidak didengar, lantas UU tersebut berpihak siapa?

Omnibus Law Cika Berpihak Korporasi

RUU Omnibus Law diharapkan akan meningkatkan perekonomian melalui kemudahan berinvestasi. Mudahnya para investor menguasai SDM dan SDA jelas mengonfirmasi demokrasi kapitalis tidak berpihak pada rakyat. Dampak real bagi buruh atau rakyat justru hilangnya kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial.

Baca Juga:  182 Orang Diamankan Demo Omnibus Law di Surabaya, Ada yang Membawa Bom Molotov

Malapetaka RUU omnibus law bagi pekerja tersebut merupakan akibat penerapan sistem kapitalisme yang berkutat pada keuntungan dan menghilangkan pengaturan Al-Khaliq. Inilah yang terjadi dalam negara demokrasi, UU dibuat manusia berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan penguasa serta korporasi.

Dalam sistem kapitalis semua dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, termaksud dalam pengurusan ketenagakerjaan. Dalam sistem ini pengusaha dan penguasa senantiasa memberikan upah seminim-minimnya dan memaksimalkan tenaga semaksimalnya. Begitupun dengan pembagian waktu, sehingga tidak ada keseimbangan antara upah, tenaga, dan waktu yang diberikan perusahaan kepada pekerjanya. Sungguh ironis nasib para pekerja semua dieksploitasi akibat sistem demokrasi.

Sistem Islam Jamin Pekerja Sejahtera

Islam mampu menyelesaikan segala permasalahan baik itu persoalan buruh terkait kontrak kerja dan pengusaha maupun transaksi ijarah. Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga atau jasa para pekerja atau buruh yang bekerja untuk dirinya.

Transaksi ijarah harus berupa transaksi yang jelas, tanpa ada penyebutan waktu pada beberapa pekerjaan bisa menyebabkan ketidakjelasan. Jika pekerjaan tersebut sudah tidak jelas maka hukumnya tidak sah. Apabila transaksi ijarah dilakukan untuk jangka waktu satu bulan atau satu tahun maka tidak boleh salah satu dari kedua belah pihak membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis.

Syariah Islam menganggap pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji (upah) tertentu, baik yang memperkerjakan (musta’jir)-nya pribadi, jamaah, maupun negara. Karena itu pekerja mencakup orang yang bekerja dalam bidang kerja apa pun yang ada dalam pemerintahan Islam, tanpa membedakan apakah pegawai negara maupun pekerja lain.

Baca Juga:  Soal Kejanggalan pada Omnibus Law, Demokrat: Kesalahan Fatal, Wajib Diperbaiki!

Selain mengatur masalah waktu, Islam pun mengatur masalah upah. Upah dalam Islam disebut ujrah. Upah adalah hak pemenuhan yang harus dikeluarkan dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang memperkerjakan. Upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang telah diberikan tenaga kerja. Islam memberi aturan terhadap pengupahan tenaga kerja secara baik, yakni harus memenuhi prinsip adil dan mencukupi. Islam menentukan proses pemberian upah berasal dari dua faktor, objektik dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan melalui penilaian tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara Subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai pertimbangan tenaga kerja.

Prinsip tersebut terangkum dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi: “Berikanlah kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Dengan diterapkannya sistem Islam dalam pengaturan urusan buruh dan tenaga kerja, maka bisa dipastikan tidak akan didapati perlakuan tidak adil, kebutuhannya pun tentu akan tercukupi.

Sempurnanya Islam akan terwujud jika negara menerapkan Islam sebagai asas. Oleh karena itu, tidak cukup menolak RUU omnibus law Cika untuk buruh sejahtera. Tetapi tolak segala bentuk aturan manusia dan terapkan aturan Allah, yakni syariat Islam agar keberkahan dapat dirasakan oleh seluruh alam. Wallahua’lam.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan