Meminta Presiden Mundur

Dosen FH dan FISIP UMJ dan Inisiator Masyumi Reborn, Ahmad Yani/Ist (Foto: Rmol.id)

Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH.MH

DALAM UUD 1945, Negara Indonesia memperjelas posisinya sebagai negara yang mengakui hak dan kebebasan setiap warga negara. Pasal 28 Menyebutkan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Selanjutnya Pasal 28E ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Dan dipertegas lagi dengan Pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Dan hak asasi itu hanya boleh dibatasi oleh siapapun dan tidak bisa dikurangi dalam hal apapun. Pasal 28J ayat 1 mengatur batasan Hak Asasi itu dengan mengatakan: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain”. Artinya batasan itu hanya ada pada pergaulan antarsesama warga negara, bukan antara negara (pemerintah) dengan rakyatnya.

Oleh karena itu, tidak ada batas kebebasan bagi warga negara untuk menegur negara, bahkan meminta presiden mundur dari jabatannya.

Mengkritik, mengecam, bahkan meminta mundur presiden dari jabatannya adalah aspirasi masyarakat yang sesuai dengan konstitusi. Presiden dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai presiden. Kalau rakyat merasa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, rakyat berhak untuk memintanya mundur.

Kekuasaan itu tidak boleh “bertelinga tipis” atas kritikan rakyat. Jangan hanya mau mendengarkan pujian dan sanjungan semata-mata. Ini bukan negara feodal. Pengkritik dan penyanjung kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kebebasan menurut Pasal 28 UUD. Karena itu, kalau mau menghalangi kebebasan berpendapat, maka penyanjung kekuasaan juga harus dilarang.

Tetapi penyanjung kekuasaan justru mendapatkan perlakuan istimewa. Ada orang yang senang tebar fitnah, adu domba, mengolok-olok orang lain dan itu memenuhi unsur pidana, justru menjadi “binatang langka” yang tidak boleh disentuh oleh hukum. Hanya binatang langka yang masih dirawat meski melakukan kejahatan.

Maka di sini saya tegaskan, bahwa kebebasan berpendapat dan kebabasan untuk menyatakan pikiran, baik itu memuji kekuasaan, atau mengkritik kekuasaan adalah hak warga negara yang tidak boleh di kurangi dalam hal apapun.

Meminta Presiden Mundur

Kalau menganggap pemberhentian presiden adalah makar dan tindakan pidana, maka konstitusi atau UUD bisa dikatakan buku panduan kejahatan, karena di dalam konstitusi kita terdapat pasal yang mengatur pemberhetian presiden dan tata cara pemberhentian presiden, yaitu Pasal 7A dan 7B, kalau kita menganggap impeachment (pemberhentian) itu adalah kejahatan sebagaimana yang terjadi pada Ruslan Buton yang meminta presiden mundur.

Sebagai warga negara, ia tentu punya hak untuk menyampaikan pendapatnya, dan tidak sejalan dengan pemerintah dalam hal mengelola negara. Itu sah dan konstitusional. Meminta presiden mundur adalah aspirasinya sebagai warga negara.

Kalau meminta presiden mundur adalah pidana, maka konstitusi yang mengatur presiden diberhentikan juga dapat dianggap sebagai panduan makar atau buku panduan kejahatan.

Sebab, UUD 1945 mengatur sedemikian rupa tata cara memberhentikan presiden. Dengan mekanisme yang jelas. artinya UUD memenuhi syarat sebagai “buku panduan makar”, karena memuat skenario pemberhentian presiden. Simpelnya begitu.

Padahal presiden diberhentikan itu dilakukan atas “PENDAPAT DPR”. Pendapat DPR itulah yang disebut aspirasi rakyat. Lalu kenapa rakyat ditangkap ketika meminta presiden mundur, padahal mereka menyampaikan aspirasinya. Dan Kenapa DPR diam ketika ada rakyat yang mereka wakili menyampaikan aspirasinya kemudian ditangkap? Ini pertanyaan serius!

Baca Juga:  Habiskan Uang Negara Dalam Jumlah Besar, Semakin Membuktikan Keberadaan Buzzer

Cara Memberhentikan Presiden

Ada dua cara untuk menghentikan presiden dari jabatannya. Pertama cara yang konstitusional. UUD menjelaskan bahwa usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR.

Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Kedua, melalui tindakan Extra Konstitusional. Hal itu dilakukan oleh Soekarno sebagai presiden ketika membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955 dengan mengumumkan dekrit Presiden 5 juli 1959. Yaitu menghentikan peroses perdebatan dalam menyusun konstitusi dengan kembali ke UUD tahun 1945.

Tindakan Soekarno waktu itu sebenarnya bertentangan atau setidaknya tidak diatur dalam konstitusi atau UUD Sementara Tahun 1950. Namun kemudian dapat dibenarkan menurut kondisi dan keadaan waktu itu.

Selain itu, desakan pemberhentian Presiden Soekarno diawali dengan demonstrasi memintanya mundur. Hingga akhirnya sidang istimewa MPR meneruskan aspirasi itu, hingga akhirnya Soekarno berhenti. Begitu juga dengan Presiden Soeharto, desakan mahasiswa dan tokoh reformasi akhirnya membuat Soeharto menyatakan mundur dari presiden.

Dan naik BJ Habibi mengantikan Soeharto sebagai Presiden adalah meneruskan masa jabatan Soeharto, yang menurut UUD tahun 1945 seharusnya sampai tahun 2003, akan tetapi Presiden Habibi mempercepat Pemilu yaitu tahun 1999, dan MPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden, tindakan Habibi adalah juga Extra Konstitusional.

Karena itu, desakan atau meminta presiden mundur, bukanlah sebuah tidak pidana, melainkan wujud ekspresi rakyat atas aspirasi rakyat yang dijamin UUD, hal ini pernah juga terjadi era Presiden SBY, yaitu gerakan turun ke jalan/demonstrasi besar yaitu gerakan cabut mandat yang dimotori Bang Hariman Siregar sampai ke depan Istana.

Pergerakan massa rakyat yang terorganisasi, atau parlemen jalanan, bisa meminta presiden mundur, kalau DPR tidak lagi dipercaya sebagai penyambung aspirasi rakyat. Sebab dalam demokrasi, tidak ada institusi negara yang sakti, tidak ada jabatan yang dipegang oleh raja dan tidak ada kultur feodalisme.

Kekuasaan bisa berakhir kapan saja, kalau rakyat sudah tidak menghendakinya. Intinya rakyatlah yang berdaulat penuh atas negara.

Persoalan apakah yang dapat membuat presiden dapat berhenti?

Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 pemakzulan presiden terdiri atas enam syarat. Presiden hanya dapat dilengserkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa, pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, tindak pidana berat lainnya, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Artinya, ada kriteria yang jelas dan ada mekanisme yang jelas untuk menghentikan presiden. Dengan demikian, maka jalan untuk meminta presiden mundur adalah jalan konstitusional. Entah itu aspirasi tiap-tiap orang atau pendapat DPR, semua sah. Tinggal mekanisme yang seperti apa untuk meminta presiden mundur, itu tergantung situasi nasional dan dinamika politik serta hukum yang terjadi.

Maka dengan demikian penilaian atas enam kriteria, presiden bisa diberhentikan itu, maka tiap orang dapat menyampaikan aspirasinya, meminta presiden mundur dari jabatannya sebagai presiden.

Wallahualam bis shawab.

Penulis adalah Dosen FH dan FISIP UMJ dan Inisiator Masyumi Reborn

Sumber: Rmol.id

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan