Menakar Tanggung Jawab Pemimpin Negeri Melalui PSBB

Anggun Permatasari (Dokumen Penulis)

Oleh: Anggun Permatasari

Untuk menekan penyebaran Covid 19, pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor: 9 Tahun 2020 sebagai pedoman untuk menjalankan PSBB.

Sayangnya, PSBB tidak dilaksanakan serentak di semua kota di Indonesia. DKI Jakarta adalah provinsi pertama yang menerapkan kebijakan tersebut. Barulah disusul kota-kota lain seperti, Depok, Bekasi, Bogor dan Banten. Untuk implementasi PSBB di setiap daerah, Kemenkes mensyaratkan aspek jumlah masyarakat terinfeksi dan meninggal yang eksponensial. Selain itu, daerah tersebut secara historical memiliki relasi dengan tempat atau negara lain yang telah mengalami epidemi atau penularan secara transmisi lokal.

Langkah Kemenkes tersebut memberi kesan setengah hati. Karena PSBB tidak akan berdampak sistemik jika menunggu terjadi lonjakan Penderita Dalam Pengawasan (PDP) atau korban meninggal. Idealnya, PSBB menjadi payung hukum yang dibuat pemerintah untuk memutus rantai penyebaran Covid 19 tidak hanya di wilayah Epicentrum atau “Red Zone”, tapi di seluruh wilayah negeri.

Baca Juga:  Menyoal Pernyataan Kitab Fiqih Adalah Produk Perang Salib

Data terbaru yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Kamis sore, 23 April 2020, total jumlah kasus positif corona di Indonesia telah menyentuh angka 7.775 pasien. Terkonfirmasi dengan korban meninggal sebanyak 647 orang dan pasien sembuh sebanyak 960 orang. (CNNIndonesia.com)

Dengan melihat data pertumbuhan korban yang terus merangkak naik tentunya Pemerintah dituntut untuk menangani penyebaran Covid-19 secara cepat, tepat dan akurat. Terlambat sedikit saja, dipastikan gelombang penyebaran Covid 19 akan semakin sulit dibendung. Walaupun persentase kemungkinan sembuhnya besar namun, metode penularan Covid 19 ini sangat mudah dan massif.

Tetapi, perbedaan antara pemerintah pusat dan daerah justru sangat kentara. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sinergi dalam memutuskan tindakan nyata penanganan pandemi ini. Ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hendak menghentikan pelayanan bus antarkota agar penyebaran Covid 19 tidak semakin meluas. Luhut Binsar Panjaitan selaku Plt. Menteri Perhubungan justru memberi arahan untuk menunda pelaksanaannya. (Liputan6.com)

Lucunya lagi, masyarakat saat ini dibuat bingung terkait video wawancara antara Presiden Jokowi dengan Najwa Shihab terkait larangan mudik lebaran. Video tersebut diunggah Najwa Shihab pada akun youtube pribadinya. Pada video yang berdurasi sekitar 14 menit, Presiden mengatakan bahwa mudik dan pulang kampung itu beda.

Beliau mengatakan bahwa kembalinya masyarakat yang merantau untuk bekerja ke kampung halaman karena dampak pandemi, disebabkan mereka kehilangan pekerjaan disebut pulang kampung. Menurutnya hal tersebut tidak dilarang. Sedangkan, untuk warga yang kembali ke tanah kelahirannya saat Hari Raya dinamakan mudik. Mudik inilah yang tidak diperbolehkan negara.

Kalau kita mengacu pada kebijakan PSBB yang sudah diterapkan di awal. Harusnya, penguasa sudah memahami esensi dari pelarangan migrasi masyarakat ke luar wilayah tempat tinggalnya. Karena substansi dari PSBB adalah social distancing. Jadi, apapun alasannya masyarakat selama PSBB tidak boleh ke luar rumah selain untuk kepentingan mendesak, apalagi ke luar daerah.

Hal tersebut mencerminkan kebijakan PSBB yang dikeluarkan penguasa merupakan formalitas semata. Karena larangan mudik baru resmi diberlakukan pada tanggal 24 April 2020. Pada H-1 aktivitas di beberapa terminal seperti Terminal Bus Kali Deres dan Terminal Pulo Gebang menunjukkan peningkatan. Padahal, PSBB resmi diberlakukan di DKI Jakarta sejak tanggal 10 April 2020.

Dari fenomena di atas tergambar tidak adanya konsistensi negara dalam melaksanakan kebijakan buatannya, PSBB. Faktor penunjang yang harus dijamin negara dalam penerapan langkah ini tidak diberikan. Harusnya, untuk menyukseskan program ini pemerintah memastikan segala kebutuhan dasar masyarakat bisa terpenuhi seperti sembako, jaringan listrik serta komunikasi gratis. Sehingga masyarakat tidak melakukan tindakan melanggar hukum seperti mudik ke kampung halaman. Oleh sebab itu, negara harus bisa merealisasikan komitmennya dalam memberantas Covid 19. Karena di masa pandemi seperti sekarang ini, peran dan tanggung jawab pemerintah secara penuh sangat dibutuhkan masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”. (HR. Bukhari dan Ahmad). Wallahu a’lam.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan