Oleh: Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Keseriusan pemerintah mengerjakan proyek Ibu Kota Baru makin kentara. Badan Otorita Ibu Kota Negara akan dibentuk. Jokowi pun menjatuhkan pilihan kepada para kandidat. Ada nama mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro, Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, Tumiyana, dan Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas.

Keempat kandidat tersebut dipilih langsung oleh Jokowi untuk menempati posisi Kepala Badan Otorita IKN. Menurut Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, Badan ini setingkat menteri. Ada tiga klaster di ibu kota baru nanti, yaitu pertama klaster pemerintah. Mulai dari pendanaan hingga kepemilikan tanah dan aset menjadi wewenang pemerintah Indonesia.  Sementara untuk klaster perumahan dan perkantoran serta klaster infrastruktur atau fasilitas publik dan ICT pendanaannya dilakukan kerja sama dengan swasta melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Rencana Jokowi yang ingin menunjuk ‘Bos’ proyek Ibu Kota Baru menuai kritik dari DPR. Mereka meminta pemerintah dahulukan RUU Ibu Kota Baru ketimbang Badan Otorita IKN. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mempertanyakan langkah Jokowi mengumumkan calon kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara. Ia mempertanyakan dasar hukum ketetapan tersebut. Menurutnya, hingga saat ini RUU IKN yang masuk omnibus law belum dibahas. Bahkan pemerintah belum menyerahkan draf RUU nya ke DPR. Baru RUU Cipta Kerja yang sudah masuk dan itu pun dihujani kritik tajam dari masyarakat.

Baca Juga:  Rizal Ramli Geram, Mayoritas DPR Hanya "Yes Man" Tak Punya Nyali Tolak Ibukota Baru

Pembentukan Badan Otorita melalui Peraturan Presiden dinilai terlalu dipaksakan. Langkah Jokowi dinilai menabrak aturan. Setiap kebijakan  semestinya berdasar pada prosedur dan landasan hukum yang jelas. Bukan sekadar kejar target lalu buru-buru keluarkan Perpres. Sementara RUU IKN saja belum rampung drafnya. Bukankah sikap seperti ini  mengindikasikan betapa ‘ngoyoh’nya upaya agar proyek Ibu Kota Negara segera direalisasikan? Ada apa? Mengapa terburu-buru seperti dikejar waktu?

Sejak proyek Ibu Kota Baru digulirkan kepada publik, sudah ada 8 negara yang berminat untuk berinvestasi pada proyek tersebut. Diantaranya Amerika Serikat, Inggris, Jerman, China, Singapura, Italia, Denmark dan UEA. Belakangan, Arab Saudi bahkan juga berminat berinvestasi pada mega proyek Ibu Kota Baru. Promosi Ibu Kota Baru dengan kemudahan investasi rupanya menuai kesuksesan. Tak tanggung-tanggung, sang Menteri Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menyebut ada 30 investor yang siap menanamkan investasinya di proyek IKN. Baik investor dalam maupun luar negeri. Rerata mereka adalah perusahaan besar yang memiliki bisnis beragam mulai dari listrik hingga kendaraan. Entah harus bilang sedih atau bahagia. Bagi kami, rakyat pribumi, mega proyek Ibu Kota Baru tak lebih sekadar proyek business to business. Jangan pernah megatasnamakan proyek itu demi kebaikan dan kemaslahatan rakyat. Sejauh ini kami tak lihat maslahat apa yang didapat dari proyek itu kecuali hanya untuk memberi karpet merah bagi asing untuk leluasa memainkan dominasinya terhadap proyek-proyek strategis negara. Lebih tepatnya, pemerintah sedang membangun ‘rumah asing’ di atas tanah pribumi.

Baca Juga:  Nilai Aset DKI Jakarta Capai Rp 1000 T, Bakal Dijual Buat Ibu Kota Baru?

Di sisi lain, empat kandidat yang bakal menjadi ‘Bos’ baru memimpin mega proyek itu juga bikin geleng-geleng kepala. Tercantum nama Ahok didalamnya. Baru juga seumur jagung menjabat Komisaris Utama Pertamina, Ia sudah mau direkrut menjadi calon pemimpin proyek Ibu Kota Negara. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Yang pro mengatakan, pemilihan kepala Badan Otorita IKN adalah hak prerogatif Presiden. Presiden pasti punya pertimbangan yang matang. Benarkah itu murni hasil pemikiran Presiden? Dalam kamus politik demokrasi hari ini, penunjukan seseorang dengan jabatan se-strategis itu tidak mungkin tidak memiliki kepentingan tertentu. Selalu ada kepentingan dibalik keputusan dan kebijakan. Sudah pakemnya dalam politik demokrasi berlaku demikian.

Pihak yang kontra datang dari suara umat, yaitu Mujahid 212. Mereka menolak tegas jika Ahok ditunjuk menjadi kepala Badan Otorita IKN. Penolakan ini juga berasalan. Ahok memiliki rekam jejak politik yang tidak biasa. Integritasnya sebagai pejabat negara diragukan. Entah kepribadiannya ataupun misteri kasus yang menyeret namanya. Seperti kasus korupsi RS Sumber Waras yang tak tahu rimbanya hingga sekarang. Terlebih Ahok adalah kader PDIP. Siapapun tahu PDIP adalah partai pemenang pemilu. Tentu beragam kepentingan bermain dalam pusaran kekuasaan. Antara pribadi, golongan, dan partai. Simpulannya, pembentukan Badan Otorita melalui Perpres itu diduga bermasalah. Dasar hukum dipertanyakan. Diantara para kandidat ada yang diragukan integritasnya. Dan bau asing begitu menyengat dalam mega proyek Ibu Kota Negara. Bukan pemerintah yang resah. Bukan pengusaha kapitalis yang resah. Namun, rakyatlah yang paling gelisah dengan kebijakan pemerintah yang sangat berani. Ya, berani memberi angin segar dan nyaman untuk investasi. Tak bergeming dengan kritikan rakyat, proyek pun dijalankan sesuai mandat kepentingan. Seandainya proyek itu terwujud, apa yang kalian sisakan untuk kami?

Remah-remah kesejahteraan atau bahkan awal penderitaan?

Silakan renungkan.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan