Saat ini jagad dunia maya sedang dihebohkan oleh polemik perbedaan istilah “mudik” dan “pulang kampung”. Banyak yang berpendapat bahwa mudik dan pulang kampung mempunyai arti atau makna yang sama. Namun ada juga yang sepaham dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa mudik dan pulang kampung itu tidak sama. Namun saya tidak mau memperpanjang polemik tentang ucapan orang nomor satu di negeri ini. Saya hanya ingin berbagi istilah mudik yang digunakan di kampung saya, Pariaman.

Pariaman merupakan wilayah di Sumatera Barat yang terletak di sebelah utara (mudik) kota Padang. Berbagai ciri khas daerah Pariaman ini mungkin sudah banyak dibicarakan orang seperti pada peristiwa perkawinan. Di Pariaman ada istilah laki-laki dibeli. Mempelai wanita “membeli” mempelai pria. Pariaman juga dikenal dengan budaya Tabuik, yakni perayaan peristiwa perang Karbala. Lalu ada lagi yang khas yakni memetik kelapa menggunakan jasa beruk (monyet berekor pendek). Bahkan ada sekolah khusus yang mendidik beruk tersebut agar mahir memetik kelapa dan masih banyak lagi. Kali ini saya akan memberitahukan istilah yang dipakai oleh orang Pariaman untuk penunjuk arah.

Baca Juga:  Kelor, solusi malnutrisi

Pemakaian istilah di Sumatera Barat bisa dibilang hampir sama, yang membedakan sedikit hanya dialeg daerah masing-masing. Contoh kata “pai”, yang berarti pergi. Di wilayah tertentu seperti Payakumbuh dialegnya adalah “poi”, namun artinya tetap sama. Khusus untuk istilah penunjuk arah atau arah mata angin, saya hanya tau istilah yang dipakai di kampung saya saja. Di daerah lain bisa saja berbeda artinya. Untuk arah utara disebut mudik (mudiak), arah selatan disebut hilir (ilia), arah barat disebut laut (lauik) dan arah timur disebut darek (darat).

Bagi kami orang Pariaman yang telah besar di luar Pariaman sudah jarang mendengar kata mudiak, ilia, lauik dan darek digunakan sebagai penunjuk arah. Tapi bagi mereka yang menetap di Pariaman sampai saat ini istilah tersebut masih digunakan. Meskipun ada perluasan makna untuk kata mudik, namun mereka masih menggunakan istilah tersebut sebagai penunjuk arah.

Baca Juga:  Indonesia Raja Impor, Pendapatan Rakyat Semakin Kendor!

“Yuang, ang ambiak rumpuik untuak makan kabau ka mudiak lah!” (Buyung, kamu ambil rumput untuk makan kerbau ke utara ya!), begitu dulu Nenek sering memberi perintah kepada saya. Hampir tidak pernah terdengar di kampung saya orang memakai kata utara, selatan, barat dan timur untuk penunjuk arah. Kalau mendengar orang kampung saya bicara, “Waden nio ka lauik” (Saya mau ke laut), itu bukan berarti pergi ke laut, namun pergi ke barat. Kampung saya yang terletak di daerah perbukitan, sering terdengar kata pergi ke laut, padahal untuk pergi ke laut sangat jauh. Jadi jangan heran bila berkunjung ke Pariaman lalu mendengar ada orang yang berbicara dia mau ke laut, tetapi di sekitarnya tidak ada laut.

Baca Juga:  Menyoal Pernyataan Kitab Fiqih Adalah Produk Perang Salib

Saya yang dibesarkan di kota Padang, jika ingin pulang kampung orang tua saya kadang memakai istilah mudik untuk pulang kampung. Mudik bukan berarti menuju kampung, namun mudik menyatakan bahwa Pariaman itu terletak di sebelah utara kota Padang. Begitu juga sebaliknya jika ingin kembali ke kota Padang, digunakan istilah ke hilir yang berarti ke selatan. Malahan untuk menyatakan pulang kampung sendiri tetap digunakan istilah pulang kampung bukan mudik. Jadi kalau saya ditanya mana yang benar mudik atau pulang kampung? Mudik ya mudik, pulang kampung ya pulang kampung. Karena kebetulan posisi kampung saya terletak di sebelah utara maka sering terdengar mudik itu adalah pulang kampung.

Dr. Nofiyendri Sudiar/Dosen Fisika Universitas Negeri Padang.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan