Oleh: Rini Astutik
(Pemerhati Sosial)

Pada hari Rabu tanggal 12/02/2020 tepatnya di Jakarta  pemerintah secara resmi menyerahkan  rancangan undang undang Omnibuslaw Cipta Kerja (CIKA) kepada DPR RI berbagai aturan terdahulu siap direvisi untuk memggenjot realisasi investasi RI.

Dalam draft RUU sapu jagat tersebut ketenagakerjaan merupakan salah satu bahasan yang dicantumkan. Menurut dari sumber Kompas.com, 12/02/2020, pemerintah berencana menghapus dan mengubah serta menambah pasal terkait undang-undang ketenagakerjaan tersebut.

Fakta tersebut ternyata menuai protes dikalangan masyarakat khususnya bagi para buruh. Dilansir dari Korankaltim.com, dijelaskan telah terjadi aksi puluhan mahasiswa dan Buruh yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), SPSI Serikat Pekerja Buruh Inonesia tak terkecuali serikat pekerja Buruh Mandiri dari Sangatta.

Terjadinya aksi tersebut disinyalir adanya  bahaya yang ditimbulkan akibat undang-undang Omnibuslaw yang bisa mengancam kesejahteraan para buruh sehingga tidak hanya di kalimantan timur  khususnya Samarinda dan Sangatta saja tapi aksi ini juga terjadi di beberapa daerah seperti di Serang Banten (Kompas.com 17/02/2020).

Aksi dari Mahasiswa dan para buruh itu bukan tanpa alasan, sebab dalam pembuatan RUU CIKA tersebut para buruh merasa tidak dilibatkan secara langsung,  dan di dalam isi RUU CIKA tersebut dinilai  semakin menurunkan kesejahteraan para buruh dengan ditiadakannya kewajiban pembayaran pesangon oleh pihak pengusaha, penghapusan uang cuti baik cuti hamil, haid dan cuti hari raya keagamaan,  penggunaan sistem kerja outsourching, mudahnya buruh diPHK serta pemberlakuan upah berdasarkan jam kerja.

Baca Juga:  Soal Demo Ditengah Pandemi, IDI: Pemerintah Harus Mengantisipasi Kemungkinan Adanya Klaster

Jika pemberlakuan upah buruh yang dihitung berdasarkan jam kerja, maka sudah bisa dipastikan pendapatan para buruh akan turun dan berkurang,  sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari mereka akibat upah yang diterima terlalu kecil dan murah. Ditambah lagi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok semakin membuat beban hidup bertambah   berat, hari demi hari kian terhimpit dan terjepit. 

Hal inilah  yang menjadi alasan bagi kaum istri dan wanita untuk ikut bekerja guna menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk menopang kebutuhan hidup mereka. Mau tidak mau sebagai masyarakat biasa mereka harus bekerja guna membantu para suami agar asap dapur mereka tetap bisa mengepul.

Demikianlah yang terjadi dalam sistem Kapitalis, rakyat tidak memiliki jaminan dari negara. Sebab dalam sistem ini rakyat kecil atau miskin hanya dianggap sebagai beban negara, akibatnya negara samakin lalai dan abai dalam meriayah rakyatnya.

Kelalaian negara dalam meriayah rakyat terbukti dengan disahkannya RUU Omnibuslaw. Sebab  dalam  RUU Omnibuslaw ini menentukan betapa pentingnya kehadiran para investor (korporasi) untuk memberi layanan terhadap masyarakat berupa penciptaan lapangan kerja yang tidak mampu diciptakan oleh pemerintah.

Lapangan kerja dibuka oleh para investor swasta, sedangkan pemerintah cukup dengan mempermudah perizinan investasi. Cipta lapangan kerja yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara pun beralih kepada swasta, sehingga ini adalah sebuah kesalahan negara yang membangun ekonomi dan mengatasi pengangguran berbasis investasi.

Para investor pun (korporasi) pastinya akan memperhitungkan untung dan rugi bukan memikirkan kesejahteraan para pekerja. Sehingga, negara hanya menjadi regulator guna memuluskan kepentingan para Kapitalis. Hal demikian mempertegas bahwa dalam RUU Omnibuslaw hanya akan memuluskan kepentingan pengusaha, lebih tepatnya dari pengusaha oleh pengusaha dan untuk pengusaha.

Inilah yang terjadi dalam negara Demokrasi, undang-undang dibuat berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan penguasa.  Undang-undang dibuat mengatasnamakan rakyat dan untuk kepentingan rakyat, namun pada faktanya hanya untuk memuluskan kepentingan para Kapitalis.

Maka kini sudah saatnya kita kembali kepada sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dalam menyelesaikan masalah upah buruh, pengangguran dan menciptakan lapangan kerja. Sebab sudah terbukti bahwa Islam mampu menyelesaikan segala permasalahan baik itu persoalan buruh terkait kontrak kerja dan pengusaha maupun transaksi ijarah.

Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak  tenaga atau jasa para pekerja atau buruh yang bekerja untuk dirinya. Dalam (Q.S Az-Zukhuf 43:32) Allah SWT berfirman “Apakah mereka membagi bagi Rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan didunia serta meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka memperkerjakan sebagian yang lain”.

Dalam transaksi ijarah harus ada kejelasan, tanpa ada penyebutan waktu pada beberapa pekerjaan bisa menyebabkan ketidakjelasan. Jika pekerjaan tersebut sudah tidak jelas maka hukumnya tidak sah. Apabila transaksi ijarah dilakukan untuk jangka waktu satu bulan atau satu tahun maka tidak boleh salah satu dari kedua belah pihak membatalkannya, kecuali apabila waktunya telah habis.

Baca Juga:  Demonstran Omnibus Law Rusak Kantor dan Jarah Laptop, ESDM Rugi Rp 2,5 M

Syariah Islam menganggap pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji tertentu baik yang memperkerjakan (musta’jir) –nya pribadi, jamaah, ataupun negara. Karenanya pekerja mencakup orang yang bekerja dalam berbagai bidang yang ada dalam pemerintahan Islam, tanpa ada perbedaan baik dia sebagai pegawai  negara ataupun pekerja lain.

Selain mengatur masalah waktu, Islam juga mengatur masalah upah. Upah dalam Islam disebut ujrah. Upah adalah hak yang harus dikeluarkan dan tak boleh diabaikan oleh pihak yang mempekerjakan seseorang karena upah adalah bentuk kompensasi atas jasa yang sudah diberikan bagi pekerja. Islam juga memberi aturan yang baik dalam  sistem pengupahan  yaitu harus memenuhi prisip adil dan mampu mencukupi.

Dalam Islam proses penentuan pemberian upah ada dua faktor, yaitu objektif dan subjektif. Jika Objektif adalah ketentuan upah yang berdasarkan melalui penilaian tingkat upah dipasar tenaga kerja, sedangkan subjektif ialah upah yang ditentukan melalui pertimbangan sosial yaitu nilai nilai pertimbangan  tenaga kerja.

Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Al Baihaqi ”Berikanlah kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang telah dikerjakannya”.

Begitu indah dan sempurnanya aturan Islam  dalam pengurusan urusan ummat baik masalah upah buruh dan ketenagakerjaan,  dan jika sistem Islam ini diterapkan oleh negara maka sudah bisa dipastikan rakyat akan mendapatkan keadilan, kebutuhannya akan bisa terpenuhi kesejahteraan akan bisa dirasakan. Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak mau diterapkan syariat Islam, sebab hanya dengan Islam solusi tuntas segala problematika ummat. Wallahu’Alam.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan