Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam / Dosen dan Pengamat Politik.

Sikap dan peran anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dipertanyakan. Ini lantaran mereka hanya diam ketika pemerintahan Joko Widodo melakukan utang besar-besaran ke negeri China. Begitu kata aktivis yang juga mantan Sekjen Prodem, Satyo Purwanto usai setuju dengan sikap Presiden Tanzania, John Magufuli yang membatalkan pinjaman dari China. Magufuli menolak utang China lantaran menganggap syarat yang diberikan tidak masuk akal dan hanya bisa dipenuhi oleh orang mabuk.

Satyo mengatakan Keheranannya terhadap anggota DPR RI yang selama ini bungkam padahal pemerintah nyari utangan sampai terkesan gadai murah nasib masa depan RI.  Seharusnya, kata Satyo, DPR merupakan pihak yang harus bersuara lantang atas utang yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Apalagi, utang dalam jangka panjang dapat membebani generasi bangsa. Satyo juga menegaskan harusnya DPR RI paling kencang menolak soal utang karena berpotensi buruk seperti tersandera hingga membahayakan masa depan bangsa. (idtoday.co 27/04) 2020)

Sungguh luar biasa kuasa Allah yang Maha Pencipta. Ditengah wabah yang melanda, berbagai sisi kebobrokan aturan manusia terus dipertontonkan. Lihat saja bagaimana terbongkarnya kinerja pejabat legislatif yang semakin nyata jauh dari kepentingan rakyat.  Diamnya DPR RI terhadap utang, hanya satu bentuk kebisuan dari sekian banyak kebijakan eksekutif yang diaminkan legislatif.

Baca Juga:  Perusakan Generasi di balik Kampanye Body Positivity

Rasa heran Setyo terhadap sikap diamnya DPR RI tentu juga dirasakan sama oleh rakyat. Sebab, DPR RI yang harusnya mendukung rakyat malah berbalik menjadi pendukung kebijakan eksekutif yang jauh dari kepedulian terhadap rakyat. Mengapa kinerja legislatif negeri ini demikian parah? Untuk menjawabnya, berikut analisis yang bisa menjadi bahan renungan.

Pertama, kinerja DPR RI semenjak masa pemerintahan Jokowi jilid I memang semakin banyak dipertanyakan oleh rakyat. Keberpihakan kebijakan yang diambil oleh rezim sangat akrab dengan para cukong kapitalis lokal dan global. Rakyat hanya sebagai penonton pasif yang terus menjadi korban kebijakan rezim, dan DPR RI mandul peran untuk menolak kebijakan rezim yang pro kapitalis tersebut. Sebut saja maraknya kasus impor. Mulai dari bahan mentah hingga manusia pun diimpor. DPR RI seperti mati suri untuk melawan kebijakan tersebut.

Kedua,  kasus RUU omnibus law yang menjadi bagian prolegnas juga menjadi bukti keberpihakan Parlemen legislatif kepada rezim dan kaum pemilik modal alias kapitalis. Sebab para anggota parlemen juga banyak terjebak transaksi utang modal saat kampanye atau mendapatkan janji keuntungan dari para kapitalis. Akhirnya, meskipun kebijakan tersebut mendzalimi rakyat mereka tetap bersilat lidah atas nama rakyat. Sungguh perilaku yang mengenaskan. Rakyat selalu jadi alasan untuk melegalkan aturan yang pada hakikatnya hanya untuk kepentingan elit parpol, pemerintah dan juga kapitalis.

Ketiga,  Setyo seharusnya tidak perlu heran dengan diamnya DPR RI atas kebijakan utang luar negeri  yang terus dicanangkan. Khususnya dari China. Kedekatan rezim Jokowi dengan kapitalis Taipen bukanlah rahasia umum. Apalagi anggota legislatif hari ini adalah mayoritas partai pendukung rezim alias koalisi. Lebih dari 75% suara Koalisi  mewarnai legislatif. Tentu saja mereka akan bahu-membahu mendukung langkah pemerintah apapun bentuknya.

Keempat,  meskipun pemerintah dan DPR RI mengetahui bahaya dan ancaman utang luar negeri yang terus diambil, tetapi mereka tidak akan berdaya menolak karena itulah bentuk kerjasama asing yang telah disepakati bersama. Utang luar negeri tidak akan bisa dihindari selama negeri ini menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara kapitalis serakah seperti China,  AS, Eropa dan Australia. Tujuan utang tidak lain hanyalah sandera, keuntungan, yang semuanya adalah bagian dari penjajahan gaya baru (Neo impreallisme).

Utang luar negeri yang telah diterima Indonesia bukan lagi lazim. Sudah menembus angka 6000 Triliun rupiah. Dan baru saja,  pemerintah menandatangani kesepakatan utang luar negeri selama 50 tahun.  Surat utang terlama sejak NKRI ini berdiri. Bayangkan, hutang sebelumnya saja belum selesai, kini menambah utang baru hingga 50 tahun ke depan. Bukankah hal itu sama dengan menenggelamkan bangsa ini?

Setyo benar saat mengatakan bahwa utang luar negeri adalah ancaman masa depan negeri ini. Sebab dengan utang-utang tersebut, Indonesia akan terus tersandera dan sulit menolak permintaan negara piutang (debitur). Lihat saja sikap pemerintah Indonesia  terhadap China. Bahkan saat wabah pun, pemerintah tidak berdaya menolak penduduk China masuk berbondong-bondong ke negeri ini. Padahal mereka dikabarkan adalah pembawa virus covid-19.

Belum lagi anggunan utang yang diminta negara debitur bukanlah benda-benda kecil, melainkan tanah alias daratan Pulau yang kosong. Bukankah sama artinya, pemerintah tengah menggadaikan jengkal perjengkal Pertiwi ini kepada kaum kapitalis?

Tidak ada cara lain mengakhiri penghianat rezim dan sekumpulan legislatif kecuali mencampakkan ideolgi kapitalisme yang mengatur negeri ini. Kemudian menggantinya dengan sistem Islam yang akan mensejahterakan Pertiwi tercinta dengan aturan Ilahi Rabbi. Dengan konsep ekonomi Islam, negeri ini akan mandiri dan berdaulat tanpa utang luar negeri.

Indonesia akan mandiri mengelola SDA yang ada tanpa bantuan modal kapitalis. Berdiri tegak dihadapan negara-negara asing tanpa tersandera kepentingan-kepentingan kapitalis global. Semua pasti merindukan Indonesia yang mandiri dan berdaulat dimata dunia. Dan tentunya semua itu bisa terwujud jika syariah Islam diadopsi dan dijadikan sebagai undang-undang mengatur wilayah NKRi yang gemah ripah loh ji nawe ini. Wallahu a’lam bissawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan