Oleh: Emmanuel Ariananto Waluyo Adi, S.H.
Analis Hukum Sekretariat Kabinet Republik Indonesia

Dunia saat ini tengah menghadapi wabah penyakit Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menyebabkan adanya kebijakan physical distancing atau menjaga jarak fisik sebagai cara untuk menghindari penyebaran virus corona lebih luas. Kondisi tersebut mempengaruhi berbagai sektor dan untuk mengatasi peningkatan dampak negatif Covid-19. Khususnya di sektor ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakankebijakan terkait yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana NonAlam Penyebaran Corona Virus Diseases 2019 Sebagai Bencana Nasional (selanjutnya disebut Keppres No. 12 Tahun 2020). Penetapan pemerintah tersebut menginformasikan bahwa Covid-19 telah melanda dan berdampak di seluruh wilayah Indonesia. Wadah Covid-19 berdampak dan mempengaruhi berbagai sektor terutama sektor ekonomi, karena itu dinyatakan sebagai bencana nasional non-alam. Keppres No. 12 Tahun 2020, membantu pihak kreditur dan debitur lingkup perusahaan pembiayaan dalam mempertimbangkan dan memutuskan permasalahan berkaitan dengan perjanjian yang telah disepakati para pihak yang dibuat sebelum terjadinya wabah Covid-19. Kebijakan PSBB mengakibatkan ruang gerak berusaha para pedagang, pengendara moda transportasi online dan pedagang kecil lain yang menjadi debitur perusahaan pembiayaan c.q. leasing dan/atau pembiayaan konsumen menjadi tidak ada pemasukannya. Apakah Keppres No. 12 Tahun 2020 dapat dijadikan acuan adanya situasi dan kondisi obyektif yang bisa menjadi alasan pemaaf tidak terlaksananya perjanjian? Sebagai contoh di Sumatera Utara, tukang ojek dan sopir angkot mengalami penurunan penghasilan sampai 40 persen[1] Banyak diantara mereka yang berada dalam ketidakmampuan membayar, ketidakmampuan melaku-kan kewajibannya. Sementara untuk membayar kewajibannya pada peru-sahaan pembiayaan berasal dari pemasukan harian mereka

Di Indonesia saat ini perusahaan pembiayaan berkembang pesat. Perusahaan pembiayaan merupakan salah satu dari lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan terdiri atas 3 (tiga) yaitu; Perusahaan Pembiayaan, Modal Ventura dan Pembiayaan Infrastruktur. Lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan non bank, yang tidak tunduk pada undangundang perbankan dan berbeda dengan lembaga keuangan bank. Jika lembaga keuangan bank dapat mengumpulkan dana langsung dari masyarakat berupa saving atau tabungan, maka lembaga keuangan non bank, di larang untuk mengumpulkan dana langsung dari masyarakat. Bank menerapkan syarat-syarat yang ketat untuk dapat memberikan pencairan kredit, karena dana yang dipakai untuk memberikan kredit kepada masyarakat antara lain adalah adalah dana dari semua orang yang menyimpan uang di bank dalam bentuk tabungan, selain modal bank itu sendiri. Oleh karena itu memerlukan pengelolaan yang ketat. Salah satu syarat utama adalah wajib memiliki jaminan, untuk mendapatkan bantuan kredit perbankan. Lembaga keuangan non bank khususnya lingkup perusahaan pembiayaan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini, di larang untuk mengumpulkan dana langsung dari masyarakat dan dalam mencairkan kredit kepada masyarakat tidak dipersyaratkan untuk memberikan jaminan, sebagaimana syarat yang diberikan lembaga keuangan bank. Oleh karena itu di awal pertumbuhannya, para pengguna/debitur perusahaan pembiayaan, adalah masyarakat yang membutuhkan bantuan modal untuk menjalankan usahanya tetapi tidak memiliki jaminan. Tak heran jika perusahaan pembiayaan bertumbuh pesat, dikenal oleh masyarakat, karena kemudahan dalam mendapatkan bantuan modal. Pengguna perusahaan pembiayaan pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, terutama para pedagang kecil di pasar-pasar yang membutuhkan modal usaha atau membutuhkan kendaraan untuk mengangkut sayuran, pekerja moda transportasi online yang mendapatkan kendaraan motor/mobil dari perusahaan pembiayaan, dan menggunakan kendaraannya sebagai modal untuk mencari nafkah sekaligus membayar cicilan, dan lain-lain. Oleh karena itu perputaran uang lingkup perusahaan pembiayaan cukup besar, dan sangat membantu memberikan peluang usaha dan pekerjaan, yang sekaligus secara tidak langsung. membantu program pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. Ruang Lingkup perusahaan pembiayaan sebagaimana diatur dalam Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan adalah: 1) Leasing atau Sewa Guna usaha (pembiayaan yang diberikan kepada debitur untuk keperluan barang modal); 2) Pembiayaan Konsumen (pembiayaan yang diberikan untuk kebutuhan konsumerisme); 3) Anjak Piutang atau Factoring (pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang (penerima pengalihan piutang) dagang jangka pendek suatu perusahaan) dan 4) Kartu Kredit (alat pembayaran pengganti uang tunai). Bisnis lingkup perusahaan pembiayaan dikenal dengan bisnis ‘multifinance’, yang tidak ada pengaturannya dalam KUHPerdata, yang dasar hukum secara substansi adalah kebebasan berkontrak yang tercantum dalam pasal 1338 KUHPerdata.

Hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan (kreditur) sebagai pemberi pinjaman modal kepada konsumen (penerima pinjaman modal usaha atau disebut debitur) terjadi karena adanya kesepakatan diantara para pihak, melalui perjanjian/kontrak baku, yang dibuat oleh kreditur (perusahaan pembiayaan pemberi bantuan modal) dan dengan persetujuan atau kesepakatan dari pihak konsumen atau debitur (penerima pinjaman bantuan barang modal usaha). Perjanjian yang dibuat secara sah artinya sudah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian akan mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang (Pasal 1338 KUHPerdata atas asas pacta sunt servanda). Pembuat undang-undang memberikan pembatasan jika suatu peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar salahnya para pihak, suatu keadaan yang tidak di duga sebelumnya, dapat menjadi alasan pemaaf untuk tidak terlaksananya kewajiban. Alasan pemaaf ini khusus untuk dapat dibebaskan dari pembayaran bunga, bukan hutang pokok, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1245 KUHPerdata. Pada skim leasing obyek perjanjian adalah barang yang dijadikan modal usaha para tukang ojek, sopir gocar/grabcar yaitu kendaraan bermotor, motor atau mobil. Secara hukum jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang sudah disepakati maka dikategorikan sebagai wanprestasi atau tidak melakukan prestasi. Wanprestasi karena tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak melakukan prestasi sebagaimana yang sudah disepakati, karena sengaja dan/atau lalai tidak melakukan prestasinya. Menurut hukum di hukum untuk membayar biaya, rugi dan bunga, sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 s.d 1242 KUHPerdata. Namun demikian terhadap situasi yang tak terduga terjadi yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat melakukan prestasinya, telah diatur dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.

Baca Juga:  DPR Itu Bukan Dewan Perwakilan Rezim

Keppres No. 12 Tahun 2020, dapat memenuhi unsur adanya suatu kejadian tak disengaja yang diatur dalam Pasal 1245 KUHPerdata. Dengan demikian debitur yang mengalami gagal bayar karena adanya kondisi yang disebabkan karena Covid-19, bukan kategori wanprestasi. Adanya perjanjian baku/kontrak baku, memiliki keterbatasan, terutama bagi debitur yang merupakan pihak yang membutuhkan, yang dalam prakteknya perjanjian dibuat oleh kreditur dan debitur ‘hanya’ menyetujuinya. Namun demikian kedua pihak harus dilandasi dengan itikad baik dan kepatutan yang memiliki kekuatan moral yang melandasi keadilan itu sendiri. Oleh karena itu jika terjadi peristiwa seperti adanya pandemiCovid-19, yang memunculkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah meluasnya wabah, berdampak pada debitur perusahaan pembiayaan yang gagal bayar. Gagal bayar tersebut mesti dilihat secara bijaksana dengan mempertimbangan itikad baik, kepatutan, asas keseimbangan dan keadilan. Sehingga ada relaksasi untuk meringankan debitur dalam melunasi hutangnya sebagaimana juga tertulis dalam pasal 1245 KUHPerdata. Force majeur suatu peristiwa yang tidak terduga, para pihak tidak mengetahui saat perjanjian dibuat. Pandemi covid19 yang dalam Keppres No. 12 Tahun 2020 ditetapkan sebagai Bencana Nasional Non-Alam, sangat relevan dengan pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata, adanya force majeur yang sifatnya relatif. Sehingga gagal bayar debitur tidak dapat dikategorikan dalam wanprestasi. Peristiwa pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak khususnya perjanjian baku yang dibuat oleh kreditur (perusahaan pembiayaan dengan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan) semestinya mampu menjangkau segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Perjanjian baku harus berdasarkan itikad baik dan kepatutan dengan mempertimbangkan keseimbangan kepentingan dan keadilan, sehingga perlu mengantisipasi dengan memasukkan klausul yang berkeadilan.(*)

Baca Juga:  PP Muhammadiyah Desak Satgas Covid-19 Tertibkan Acara HRS

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan