Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
(Guru dan Penulis Asal kabupaten Konawe, Sultra)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak masyarakat untuk hidup berdamai dengan virus Corona (COVID-19) sampai vaksin untuk penyakit ini ditemukan (Detik.com, 08/05/2020).

Pernyataan Jokowi itu pun lantas menjadi sorotan di media sosial, lantaran hal itu bertentangan dengan apa yang disampaikannya dalam pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu. Kala itu, Jokowi secara terbuka mendorong agar pemimpin negara-negara dalam G20 menguatkan kerja sama dalam melawan Covid-19, terutama aktif dalam memimpin upaya penemuan anti virus dan juga obat Covid-19.

Pengamat komunikasi politik, Kunto Adi Wibowo, melihat pemerintahan Jokowi memang kerap memilih diksi dan permainan kata yang cenderung membingungkan masyarakat. Selanjutnya, diksi itu kemudian disiratkan dalam kebijakan pemerintahan yang terkesan tak seirama.

Alih-alih membingungkan, Kunto menyarankan agar Jokowi dan jajarannya menggunakan pola komunikasi yang lebih lugas sehingga tidak merepotkan masyarakat di tengah krisis seperti ini. Pasalnya, pernyataan dari pemimpin pemerintahan akan menjadi jalan yang ditempuh masyarakat di bawahnya. Sehingga dia menilai pemilihan kata ‘damai’ di tengah situasi saat ini pun menjadi tidak tepat (Cnnindonesia.com, 09/05/2020).

Baca Juga:  Lelang Nge-Prank

Dari pernyataan itu tak sedikit warganet yang gagal paham akan pernyataan tersebut. Sehingga Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin menjelaskan maksud Presiden Joko Widodo yang mengajak masyarakat berdamai dengan Covid-19. Menurut Bey, Jokowi ingin agar masyarakat tetap produktif meski virus corona masih mewabah di dalam negeri. Ia pun mengatakan, saat ini Covid-19 memang belum ada antivirusnya. Namun, masyarakat bisa mencegah tertular dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, rajin mencuci tangan dengan sabun, serta menjaga jarak (Kompas.com, 08/05/2020).

Maka dari itu, pemilihan diksi dalam menyampaikan pernyataan tentu harus dipertimbangkan telebih dahulu sebelum menyampaikan sesuatu kepada masyarakat. Karena saat menyampaikan sesuatu pernyataan yang masih kabur maknanya bisa membuat masyarakat bingung dan bertanya-tanya. Hal itu pun dapat berujung pada gagal paham atas maksud yang sesungguhnya yang ingin disampaikan pemerintah kepada rakyat.

Baca Juga:  Amien Rais, SBY dan Surya Paloh Dapat Tampil Pimpin People Power

Pernyataan yang membingungkan masyarakat pun bukan kali pertama, misal pada beberapa waktu lalu terkait persoalan mudik dan pulang kampung yang sebelumya dinyatakan oleh penguasa. Sontak hal itu menjadi bahan perbincangan, hingga viral di media sosial.

Karenanya penting memilih penggunaan bahasa yang tepat yang akan disampaikan kepada masyarakat, dengan tujuan pesan itu benar-benar sampai dengan baik. Sehingga tak menimbulkan  miskomunikasi di tengah-tengah masyarakat.

Fatalnya lagi hal itu dapat berdampak pada citra penguasa yang menjadi buruk. Karena tak sedikit orang akan menilai bahwa perkataan dan tindakan seseorang merupakan cerminan dari kualitas dirinya. Kalau sudah begitu jangan salahkan rakyat, jika nantinya mereka menganggap pemerintah yang ada saat ini kurang memiliki kompetensi yang mumpuni.

Apalagi selaku pemimpin negara, yang darinya banyak dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang yang kemudian diatur dan diberlakukan kepada warga negaranya. Jangan sampai maksudnya baik, tapi karena apa yang disampaikan tak dipahami rakyat, sehingga berdampak buruk baik pada penguasa maupun bagi rakyat itu sendiri.

Baca Juga:  RUU Cilaka Menuai Masalah

Selain itu, dalam kacamata Islam pun Rasulullah saw. mewanti-wanti secara tegas kepada umatnya tentang kehati-hatian seseorang ketika akan mengucapkan sesuatu. Sebagaimana beliau bersabda yang artinya, “Sesungguhnya seorang hamba itu berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan (baik atau buruknya) maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, alangkah baiknya seseorang, apalagi penguasa sebelum menyampaikan sesuatu mestinya mempertimbangkan, apakah yang disampaikan jelas dan tidak menimbulkan ambigu di tengah-tengah masyarakat. Karena sesungguhnya penguasa adalah pengurus urusan rakyat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jangan sampai lidah yang tak bertulang menjerumuskan seseorang ke jahanam-Nya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan