Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Praktisi Pendidikan)

Taqwa adalah sebuah kata yang diharapkan mampu terwujud pasca Bulan Suci Ramadhan telah meninggalkan kita semua. Tak mau ketinggalan momen, seruan Taqwa juga diserukan oleh Pemerintah Indonesia. Presiden Jokowi dan Ibu Iriana mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah kepada seluruh umat muslim di Indonesia. Jokowi juga  menekankan situasi Lebaran tahun ini yang berbeda dilakukan demi kepentingan semua masyarakat. Namun, ia yakin cobaan ini dapat dilewati bersama-sama. (Sumber : kumparan.com)

“Jika Allah benar-benar menghendaki dan jika kita bisa menerimanya dengan ikhlas dan dalam takwa dan tawakal, sesungguhnya hal tersebut akan membuat berkah, membuahkan hikmah, membuahkan rezeki, dan juga hidayah,” kata Jokowi. (Sumber : tempo.com)

Bukan hanya presiden Jokowi, KH.Ma’ruf Amin juga menyerukan hal yang sama. Ma’ruf mengingatkan bahwa momen harus dimanfaatkan umat muslim untuk memperkuat iman dan takwa. Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengatakan Allah SWT bahwa umat yang beriman dan bertakwa akan diberi ganjaran diberikan keberkahan. Masyarakat diminta untuk lebih bersabar dalam menghadapi pandemi ini. (sumber : tempo.com)

Lafadz taqwa dan ridho Allah ternyata terucap manis di lisan para penguasa saat ini. Bahkan itu dianggap modal penting untuk hadapi pandemi yang semakin mengganas di bumi Pertiwi ini. Lantas, taqwa dan ridho Allah seperti apa yang dimaksud oleh pemerintah? Masyarakat bertaqwa yang seperti apa yang ingin diwujudkan? Negeri bertaqwa yang seperti apa yang ingin dibangun? Jelas, pertanyaan ini harus terjawab dan masyarakat mesti kritis menanyakannya.

Baca Juga:  Kebijakan Kontroversi, Pepesan Kosong Demokrasi

Kita tentu tidak ingin seruan Taqwa dan meraih ridho Allah hanya jadi omong kosong untuk masyarakat. Dan kita juga tidak ingin seruan ini hanya ada di mulut pemerintah saja tanpa ada implementasi amal yang mengarah kesana. Lantas, apa ada korelasi seruan Taqwa dengan kebijakan yang telah dibuat pemerintah sampai detik ini?

Jika kita telisik masalah yang menimpa negeri ini, kita akan dapati bahwa tak ada satupun masalah yang dipandang dengan sudut pandang Islam dan juga diselesaikan dengan syariah Islam. Tak usah kita berbicara pandemi, bicara pengelolaan SDA, persoalan pendidikan, hingga korupsi saja tak ada satupun yang “mengindahkan” ayat suci. Justru hukum manusia yang dipuja-puji untuk mengatur seluruh lini.

Apalagi kita bicara tentang pandemi covid-19 ini. Apabila kita flashback kebijakan yang diambil pemerintah pun berpijak memakai hukum manusia, seruan Rasulullah tak diambil sama sekali, justru ketundukan pada barat jadi “harga mati”. Rezim saat ini justru bertekuk lutut di hadapan penjajah terlebih “serius” mengurusi dan menuntaskan wabah yang menjadi momok di tengah masyarakat.

Tak ada juga ajakan untuk bertaubat secara nasional bagi seluruh masyarakat. Padahal, bisa jadi datangnya wabah merupakan teguran dari Allah atas tindak tanduk penguasa yang angkuh terhadap syariah dan kita yang alpa dalam ketaatan terhadap hukum Allah. Terlebih bagi penguasa yang berdasi dan memiliki tahta, harusnya momentum ramadhan menjadi momen taubat nasuha yang telah berani membuat dan menjalankan hukum jahiliyyah di atas hukum Allah. Disitulah bukti bahwa seruan taqwa bukan omong kosong belaka.

Disini penulis melihat bahwa akibat sekulerisme yang tumbuh subur dalam pemikiran kaum muslim, ini telah menjadikan pengkerdilan makna taqwa. Taqwa memang didefinisikan menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, hanya saja ruang lingkup taqwa hanya sebatas ibadah ritual dan moral saja.

Sekulerisme telah berhasil menjadikan kaum muslim terhalang untuk memahami Islam secara utuh. Islam hanya menyentuh aspek spiritual dalam diri,memuaskan hati yang kering dari siraman rohani, dan ramadhan serta hari raya idul fitri dianggap sekedar seremonial ibadah setiap tahun untuk diperingati. Padahal, Islam mengatur dari aspek individu hingga bernegara, sebagaimana dikatakan dalam surah Al Baqarah ayat 208 bahwa Islam itu kaffaah dan kita wajib untuk terikat padanya secara totalitas untuk menjadi hamba Allah yang bertaqwa.

Penting bagi kita sebagai muslim untuk memahami makna taqwa. Taqwa yang diharapkan tentu taqwa yang sebenarnya. Demikian sebagaimana yang juga Allah SWT tuntut atas diri kita:

Baca Juga:  Maklumi ASN Berperilaku LGBT, Bukti Sekularisme Biang Penyakit

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim (TQS Ali Imran [3]: 102

Kata “taqwâ” berasal dari kata “waqâ”. Artinya melindungi. Kata tersebut kemudian digunakan untuk menunjuk pada sikap dan tindakan untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah SWT. Caranya tentu dengan menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

Harus dipahami bahwa taqwa haruslah total. Ini harus mewujud dalam segala aspek kehidupan. Taqwa bukan hanya harus ada pada tataran individual atau sekelompok masyarakat saja. Taqwa pun harus ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Negara yang bertaqwa adalah yang menjadikan Islam sebagai landasan hukum bernegara dan pemimpin yang bertaqwa adalah yang menjalankan hukum Allah tersebut karna ketaatan pada Allah ta’ala. Inilah yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin pada masa lalu dan para khalifah sesudahnya. Mewujudkan sebuah negara yang bernafaskan pada syariat islam. Khilafah sebagai institusi shahih menerapkan syariat Islam, seharusnya kita perjuangkan agar terwujud ketaqwaan hakiki. Hanya kembali pada syariah dan khilafah maka ketaqwaan itu bisa terwujud secara total dan sempurna dan ridho Allah itu bisa diraih di seluruh aspek kehidupan. Wallahu’alam.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan