Oleh : Djumriah Lina Johan
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Marilah kita hadapi cobaan ini dengan tenang dan sabar. Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah titik tolak kesembuhan,” – Joko Widodo, Presiden RI –

Betapa menenangkan kata-kata presiden di atas. Mengalahkan ceramah para ustadz dan ulama dalam bengkel hati dan rohani. Hal tersebut ia ungkapkan dalam menanggapi  kasus positif COVID-19 di Indonesia yang terus meningkat setiap harinya. Jokowi meminta rakyat bersyukur, bersabar, serta tenang. Sebagaimana dilansir dari Tirto.id pada Kamis (14/5/2020) dalam acara Doa Kebangsaan dan Kemanusiaan melalui ”Video Conference” dari Istana Merdeka Jakarta pada waktu yang sama.

Namun, cukupkah tenang dan sabar sebagai tameng sekaligus upaya untuk menangani wabah? Tentu jawabannya tidak. Dengan posisi pemimpin tertinggi di negeri ini, seharusnya bukan diksi tersebut yang keluar dari lisan presiden. Melainkan ucapan permintaan maaf karena belum maksimal menurunkan angka penderita virus Corona di Indonesia seperti yang dilakukan kebanyakan presiden di negara lain. Bahkan mungkin harus disertai dengan lelehan air mata sebagai bentuk kesungguhannya sebagai pihak yang bertanggung jawab. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.

Baca Juga:  Skenario Jatuh Bangun Ala Jaring Pengaman Sosial

Dari sini, setidaknya mengonfirmasi beberapa hal :

Pertama, penguasa negeri ini memperlihatkan secara nyata dan terang-terangan bahwa mereka tidak peduli akan nasib rakyat. Rakyat diminta mengurusi diri mereka sendiri dan bertanggung jawab atas keadaan orang-orang di sekitarnya. Dengan slogan meningkatkan solidaritas dan membangun rasa gotong royong masyarakat. Padahal sejatinya itu adalah peran negara.

Kedua, standar ganda Pemerintah yang membuat penyebaran wabah Corona semakin tidak terkendali. Yakni, menyuruh rakyat tidak mudik dan menjaga jarak tetapi membuka akses transportasi darat, laut, dan udara.

Ketiga, negara abai akan perannya sebagai pelayan dan penanggung jawab umat. Meminta masyarakat menjaga kesehatan tetapi tidak memberikan jaminan pelayanan kesehatan gratis dan jaminan makanan yang sehat, bergizi serta halal secara cuma-cuma.

Menyuruh rakyat disiplin kerja, belajar, dan ibadah di rumah namun enggan menanggung pemenuhan kebutuhan hidup semisal makanan, rumah bagi rakyat yang tidak memiliki rumah karena diusir dari kontrakan akibat tidak bisa membayar sewa hingga harus tidur di jalan atau masjid-masjid, serta pakaian yang layak.

Baca Juga:  PDIP Dalam Pusaran Trauma Politik PKI

Negara juga absen sebagai pihak yang menyediakan akses internet gratis dan berkualitas tinggi dengan jaringan yang kuat dan stabil untuk keperluan belajar, bekerja, serta berkomunikasi.

Keempat, negara gagal mengatasi penyebaran virus Corona. Seharusnya Presiden berusaha semaksimal mungkin untuk menangani wabah corona. Akan tetapi, realitas berkata sebaliknya. Kegagalan yang nyata ini hakikatnya akibat pengadopsian sistem kapitalisme sekuler yang hanya menempatkan peran negara sebagai regulator semata, bukan penanggungjawab urusan rakyat.

Penguasa juga cenderung mengakomodasi kepentingan demi kepentingan kaum elit politik dan korporasi di lingkarannya. Hingga kemaslahatan, keselamatan, serta kesejahteraan rakyat menjadi nomor terakhir dalam skala prioritas Pemerintah.

Sesungguhnya, setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, seyogianya pemimpin negeri ini berupaya dengan optimal untuk mengeluarkan rakyat dari wabah serta penjajahan kapitalisme global bukan malah menjerumuskan umat dalam kesengsaraan hidup tanpa akhir.

Baca Juga:  Jokowi Menjadi Musuh Rakyat

Pemimpin negeri ini juga wajib berkaca dan mencontoh apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Sebagai contoh, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, pada masa paceklik dan kelaparan, ia hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar ra berkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” (Tahdzib Bidayah wan Nihayah, Khalifah Umar bin Khaththab)

Umar bin Khattab juga berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’”

Akan tetapi, sistem kapitalisme sekuler telah mematikan hati dan empati penguasa. Sehingga sulit berharap mereka akan mau mencontoh dan mempraktekkan apa yang telah dilakukan Khalifah Umar. Inilah sebabnya dibutuhkan perubahan sistem dalam kehidupan bernegara. Karena hanya dengan sistem yang baik akan lahir pemimpin yang baik, amanah, serta bertanggung jawab. Wallahu a’lam.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan