Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sudah mengatakan bahwa pencetakan uang untuk menambah likuiditas tidak tepat dilakukan. Hal sama juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Namun, anehnya, ada angtota DPR yang mendorong pemerintah melakukan pencetakan uang. Adalah Muhammad Misbakhun yang pertama kali menggagas agar BI mencetak uang. Dia pun tidak khawatir terhadap risiko inflasi yang dinilainya juga kecil.

Karuan saja, usulan wakil rakyat itu membuat gerah ekonom senior Rizal Ramli. Menurut mantan Menko Perekonomian itu, mencetak uang di saat ini sangat riskan apalagi bila pemerintahannya tidak kredibel. Justru hal itu akan memunculkan praktik seperti BLBI yang sangat menghebohkan itu.

Bahkan, kata Rizal Ramli, bila BI mencetak uang, maka nilai rupiah bisa anjlok hingga Rp20 ribu. Dan hal ini tentunya sangat membahayakan perekonomian negara.

“Itu komentar ngawur. Dasar anak TK (istilah Gus Dur untuk anggota DPR). Itu bukan cetak uang (Rp 500 triliun, red.). Itu total intervensi BI di pasar valuta sampai Mei 2020. Sebagian cadangan devisa itu dari duit utang,” ujar bang RR, panggilan akrab Rizal Ramli.

Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan, usulan mencetak uang itu merupakan double kekonyolan. “Double konyol: Gubernur BI sudah menolak cetak uang via recovery atau pandemic bonds. Menkeu juga menolak, eh..eh DPR menyetujui. Dasar,” ujarnya.

Baca Juga:  Kritik Kinerja Nadiem Makarim, Mantan Ketua DPR: Tidak Profesional !

Gubernur BI secara tegas menyatakan tidak akan mencetak uang, bahkan MMT sendiri sudah banyak ditentang oleh tokoh-tokoh finansial dunia termasuk ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell.

Cetak uang oleh bank sentral sebenarnya bukan hal baru. Pada awal tahun 2019 lalu di AS sudah muncul diskusi agar The Fed menerapkan MMT. Powell saat itu menyatakan MMT adalah suatu hal yang salah.
Di luar MMT, bank sentral di banyak negara, termasuk Bank Indonesia sebenarnya sudah “mencetak uang”. Hingga saat ini BI sudah “mencetak uang” lebih dari Rp 500 triliun untuk menambah likuiditas di pasar yang sedang mengetat akibat roda perekonomian yang melambat bahkan nyaris berhenti berputar.

Istilah “mencetak uang” disini bukan benar-benar mencetak uang fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Patut diingat, penambahan suplai tersebut juga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk simpanan perbankan.

Sumber: Hanter

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan