IDTODAY.CO – Peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang terjadi pada tahun 1965 silam menyakitkan Ibu pertiwi.

Tujuh orang perwira TNI angkatan Darat (AD) serta sejumlah pihak tokoh tewas dalam kejadian keji yang berlangsung selama dua hari, 30 September hingga 1 November 1965 itu.

Soeharto yang kala itu masih menjadi Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Pangkostrad) ketika itu diangkat menumpas gerakan tersebut.

Presiden Republik Indonesia Sukarno pun melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara pada 16 Oktober 1965 yang selanjutnya dikabarkan membantai seluruh pendukung PKI pada beberapa bulan setelahnya.

PKI pun selanjutnya dibubarkan, seiring dengan jatuhnya rezim Soekarno.

Peristiwa kelam tersebut terus diulas dan dikenang lewat film G30S/PKI di TVRI selama masa Orde Baru di bawah kepemiminan Presiden Republik Indonesia Soeharto.

Namun Reformasi pada tahun 1998 mengubah segalanya.

PKI mulai bangkit, pendukungnya di Indonesia pun mulai membanggakan diri.

Keberadaan PKI yang masih abu-abu itu justru kembali ditegaskan Dadan Christianto masih ada dan eksis di Indonesia.

Seniman asal Indonesia itu mengunggah potret dirinya yang berdiri berdampingan dengan bendera PKI lewat akun facebooknya pada tanggal 23 Mei 2020 kemarin.

Dalam postingan tersebut, Dadan Christianto mengucapkan selamata ulang tahun ke 100 yang jautuh tepat pada tanggal 23 Mei 2020.

“Selamat Ulang Tahun ke 100 PKI (23 Mei 1920-23 Mei 2020),” tulisnya dalam halaman facebook pada Sabtu (23/5/2020).

Postingan tersebut pun mendapat banyak tanggapan dari amsyarakat.

Satu di antaranya disampaikan oleh Ariel Heryanto, Profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University.

Dirinya menyambut baik peringatan ‘kecil’ yang disampaikan oleh Dadan Christianto lewat status twitternya @ariel_heryanto; pada Sabtu (23/5/2020).

“Terima kasih sudah diingatkan mas Dadang,” tulisnya.

Postingan tersebut pun menuai beragam tanggapan dari masyarakat.

Banyak yang menilai PKI masih tetap ada dan eksis di Indonesia hingga saat ini.

Padahal, PKI telah dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia oleh Soeharto sebagai Panglima tertinggi di Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966.

Pembubaran PKI tersebut ditetapkan lewat keputusan Nomor 1/3/1966 yang menyatakan;

Pertama, membubarkan PKI termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya.

Kedua, PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Ariel Heryanto : Negara Harus Minta Maaf

Dikutip dari Historia.id, dalam kerangka acuan simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” disebutkan bahwa tahap berikut dari tragedi 1965 adalah operasi pengejaran bukan saja oleh TNI tetapi juga meluas menjadi “konflik horizontal” di beberapa daerah yang menyebabkan jatuhnya korban dari eks anggota PKI dalam jumlah besar.

Ariel Heryanto, profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University, menegaskan bahwa peristiwa 1965 bukan konflik horizontal tetapi konflik vertikal.

“Beberapa dari anda sudah memaklumi dan menyebut bahwa peristiwa 1965 adalah masalah konflik vertikal. Saya kira tugas saya untuk mengembangkan lebih lanjut pokok yang saya anggap penting ini,” kata Ariel.

Untuk itu, Ariel menguraikan bahwa perlu dibedakan antara bangsa atau masyarakat Indonesia dengan negara Indonesia.

Keduanya sering kali dicampuradukan. Untuk sederhananya, negara adalah sekumpulan badan atau lembaga yang satu-satunya boleh memiliki tentara, punya senjata dan boleh menembak, kalau bukan itu namanya preman;

Lalu, satu-satunya badan yang boleh membuat penjara dan memenjarakan orang; satu-satunya badan yang boleh mencetak uang; satu-satunya badan yang boleh memajaki warganya kalau bukan itu namanya palak.

Jadi, jelas sekali bedanya antara bangsa dan negara. Dengan demikian, negara juga perlu dibedakan dengan pemerintah.

“Kita tadi bicara siapa yang harus meminta maaf. Kalau menurut saya yang harus meminta maaf adalah negara. Pemerintah adalah perwakilan dari negara itu. Pemerintah bisa datang dan pergi; terpilih dan jatuh; negaranya tidak. Kalau pemerintah yang sekarang atau sebelumnya belum siap atau menolak meminta maaf, tidak berarti utang negara itu lunas; negara masih berutang, tinggal pemerintahnya yang belum siap,” tegas Ariel.

Baca Juga:  Din Syamsudin: Isu PKI tidak Bangkit Lagi Sengaja Digaungkan untuk Ninabobokkan Tokoh dan Masyarakat

“Saya berbicara negara secara kolektif,” lanjut Ariel.

“Negara bertanggungjawab yang pertama dan utama atas kegagalan yang terjadi mengelola masyarakat di tahun 1965, baik itu presiden, parlemen, tentara, bersama-sama secara kolektif adalah negara. Saya tidak mau menujuk satu atau dua pihak,” lanjut Ariel.

Menurut Ariel, dalam sejarah di Indonesia atau di banyak negara lain, kalau terjadi sebuah kekerasan massal yang meliputi wilayah yang besar dan berlangsung berbulan-bulan, biasanya negara ikut campur.

Bukan konflik antarmasyarakat.

“Dan tahun 1965 menurut saya menunjukkan itu,” kata Ariel.

Apabila konflik-konflik yang terjadi di tahun 1960-an di Indonesia terjadi hanya pada level masyarakat maka yang terjadi adalah kekerasan yang bersifat sporadik, acak dan lokal. Korbannya mungkin puluhan atau ratusan.

“Saya tidak bisa membayangkan sampai ribuan. Kalau jumlahnya sampai puluhan ribu atau ratusan ribu, pasti ada bantuan negara. Dan negara tersebut bisa juga dengan bantuan negara-negara lain, bekerjasama memungkinan terjadinya kekerasan,” kata Ariel.

Ariel tidak menyangkal ada konfik pada level lokal antarwarga pada 1965.

“Tetapi kalau berhenti pada level itu, anda sudah membebaskan negara dari kegagalannya dan kejahatannya ketika terlibat dalam kekerasan itu. Tetapi bila negara terlibat maka negara telah mengalihkan tanggungjawab itu kepada sesama warga yang terus menerus saling membeci dan mencurigai. Kita tidak akan pernah selesai dan akan begini terus,” kata Ariel.

Sementara itu, Salim Said mengatakan bahwa mestinya kita memahami peristiwa 1965 sebagai dinamika perkembangan menjadi suatu bangsa.

Dan peristiwa itu adalah fenomena dari peradaban yang rendah yang menjadi musuh kita bersama.

“Kita harus rendah hati menerima kenyataan itu,” kata Salim Said.

“Selama bangsa ini belum bisa menerima kenyataan sejarah dan keragaman Indonesia, maka bangsa ini belum beradab. Dan kita dalam proses menjadi Indonesia yang beradab masih lama,” tambahnya.

Ariel dengan tegas menyatakan berbeda pendapat dengan Salim Said soal bangsa yang beradab. Ucapan itu mengingatkannya kepada kejijikan orang-orang Eropa ketika menjajah di tanah Hindia Belanda.

Baca Juga:  PDIP Sebut Ada Pihak Sengaja Memancing Di Air Keruh Dalam Aksi Pembakaran Bendera Partai

“Mereka jijik melihat bangsa Indonesia: bangsa apa ini, kulitnya cokelat lagi. Ketika ada bangsa seperti Sukarno cs. yang mencoba memerdekakan diri, orang-orang asing itu kagum. Barangkali perlu dirumuskan ulang, kita yang justru kurang beradab sekarang tidak seberadab generasi tahun 1930-an itu,” kata Ariel.

Prabowo Minta Sejarah Pemberontakan PKI Diajarkan Kembali

Dikutip dari Kompas.com, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meminta para guru rajin menceritakan sejarah pemberontakan dan kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada siswa-siswi di sekolah.

Hal itu disampaikan dalam acara bedah buku dan diskusi panel ‘PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G30S/1965’ di Gedung Lemhanas, Jakarta, Sabtu (23/11/2019).

Prabowo berhalangan hadir dalam acara ini, tetapi teks pidatonya dibacakan oleh Rektor Unhan Letjen TNI Tri Legionosuko.

“Saya harap guru sejarah di sekolah-sekolah menyampaikan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI yang benar kepada para siswa-siswi,” ujar Tri membaca pidato Prabowo.

Menurut Prabowo, hal ini perlu dilakukan para guru sekolah agar siswa-siswi mengerti bagaimana sepak terjang PKI dan dampak dari gerakan itu, termasuk kudeta yang dilakukan partai tersebut untuk menggulingkan era kepemimpinan Presiden Soekarno pada saat itu.

Bahkan, kehadiran PKI kala itu juga diduga bertujuan mengubah ideologi bangsa yang berpegangan pada Pancasila menjadi komunis.

“Komunisme telah mencatatkan lembaran hitam dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Bahwa PKI selalu mencari cara dan kesempatan untuk melakukan kudeta di Indonesia,” kata dia.

Prabowo turut meminta masyarakat secara umum terus waspada akan aliran komunisme yang diduga masih ada di Indonesia sampai saat ini.

Sebab, negara-negara beraliran komunis seperti China dan Kuba sejatinya masih ada sampai saat ini.

“Ideologi komunis dan gerakan komunisme di Indonesia patut diduga masih eksis. Untuk itu, kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten komunis,” ujar dia.

Partner Sindikasi Konten: TRIBUNNEWS.COM

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan