IDTODAY.CO – Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan tidak menggali kebenaran materil terhadap kasus penyiraman air keras ke senior penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Direktur Legal Culture Institute (Leci), M. Rizqi Azmi menilai tuntutan Jaksa yang hanya menuntut 1 tahun pidana penjara terhadap dua terdakwa tidak tepat. Sebab hanya membuktikan dakwaan subsider, yakni menggunakan pasal 353 ayat 2 tentang penganiayaan yang menyebabkan luka berat dan Pasal 55 Ayat 1 tentang turut serta pelaku.

“Hanya membuktikan dakwaan subsider tidaklah tepat dan terkesan tidak menggali kebenaran materil yang seharusnya diperjuangkan oleh seorang jaksa pembela kebenaran hakiki terhadap seorang korban tindak pidana,” ujarnya kepada wartawan tertulisnya, Jumat (12/6).

Apalagi, kata Rizqi, korban dalam kasus ini adalah orang yang sudah berjuang dalam pemberantasan korupsi. Seharusnya kerja jaksa juga lebih ekstra.

Baca Juga:  Soal Kartu Prakerja, MAKI: Kalau KPK Cukup Bukti, Pemerintah Bisa Dituduh Korupsi !

Jaksa sebenarnya bisa menggunakan pasal-pasal ampuh untuk menjerat terdakwa. Misalnya Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana sesuai dengan actus reus atau kejadian sebenarnya dan mens rea dengan pengakuan kesengajaan oleh pelaku dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.

Bahkan, Jaksa juga bisa menggunakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 221 Ayat 1 dan 2 KUHP terkait menghalangi penyidikan dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda Rp 600 juta.

“Karena sewaktu itu banyak kasus-kasus istimewa yang ditangani Novel, seperti lapor merah kepolisian, korupsi E-KTP, korupsi akil muchtar dan lain-lain. Kemudian tentang pelanggaran HAM bisa di pakai oleh Jaksa sebagai instrumen ampuh ditengah pekerjaan krusial Novel yang tidak hanya sebagai pendekar anti korupsi juga sebagai penegak HAM,” terangnya.

Selain itu, jaksa juga seharusnya mengejar delik pemidanaan sesuai actus reus atau kejahatan yang dilakukan dan mens rea atau sikap batin pelaku.

Di mana, actus reus tidak boleh dialihkan karena ketidaksengajaan seperti penyangkalan jaksa terhadap Pasal 355 tentang penganiayaan berat yang memenuhi unsur kesengajaan dan bisa beralih kepada Pasal 340 tentang pembunuhan berencana.

“Karena Rahmat dari awal sudah dengan sadar mengambil air keras yang notabene itu adalah aset negara dari gudang milik Polri dan melancarkan aksi bersama Roni sesuai pemetaan dan menyiramkan sehingga maknanya bukan memberi pelajaran seperti yang di ungkap jaksa,” jelas Rizqi.

Rizqi pun menilai sudah sangat jelas kejahatan yang dilakukan yakni menyiramkan air keras ke sekujur tubuh untuk melumpuhkan. Selanjutnya barulah Jaksa kata Rizqi menggali mens rea terdakwa sebagai penggalian dolus atau kesalahan yang disengaja dan culpa atau kesalahan yang tidak disengaja.

“Namun dengan pernyataan Jaksa, bahwasanya si pelaku hanya ingin memberi pelajaran kepada Novel dan sikap batin sakit hati maka hal itu tidak sinkron dengan Actus reus pada kejadian sebenarnya. Seolah-olah Dolus diarahkan ke pada Culpa sebagai bentuk ketidaksengajaan,” kata Rizqi.

Padahal kata Rizqi, jika dirunut dalam KUHP kejahatan pada Pasal 353 tidak masuk dalam ruang culpa atau kesalahan yang tidak disengaja.

“Ditambah lagi Jaksa mempertimbangkan sesuatu hal yang tidak relevan. Misalkan kelakuan baik di persidangan dan pengabdian 10 tahun si pelaku. Pertimbangan itu seharusnya di balik karena mereka (terdakwa) adalah Polisi sebagai aparat penegak, maka hukumannya harus di perberat dan tidak ada alasan pemaaf,” pungkasnya.

Sumber: rmol.id

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan