Gandeng 35 Negara dan Habiskan USD24 miliar, China Ciptakan “Matahari buatan”

Orang-orang bekerja di dalam reaktor fusi nuklir HL-2M Tokamak, yang dijuluki sebagai Matahari buatan, ketika sedang dibangun di Chengdu, provinsi Sichuan, China. Foto diambil 5 Juni 2019. (Foto/REUTERS/Liu Haiyun)

IDTODAY.CO – China kembali mengukir sejarah. Kali ini mereka berhasil menyalakan reaktor fusi nuklir “Matahari buatan” .

 Reaktor tersebut dirancang untuk menjadi sumber energi bersih yang menghasilkan panas 10 kalinya dari panas Matahari asli.

People’s Daily, pada Jumat (4/12/2020) melaporkan, kesuksesan penyalaan reaktor bernama HL-2M Tokamak tersebut.

 Reaktor Matahari tersebut menggunakan gas hidrogen dan deuterium sebagai bahan bakar sebagaimana juga terjadi pada matahari asli.

Baca Juga:  Vietnam Geram China Daratkan Pesawat di Spratly, Menlu: Lukai Kedaulatan

Reaktor HL-2M Tokamak adalah perangkat penelitian eksperimental fusi nuklir terbesar dan tercanggih di China. Itu terletak di provinsi Sichuan barat daya dan selesai dibangun akhir tahun lalu. Reaktor ini sering disebut “Matahari buatan” karena panas dan tenaga yang dihasilkannya sangat besar.

Tokamak HL-2M menggunakan medan magnet yang kuat untuk memadukan plasma panas dan dapat mencapai suhu lebih dari 150 juta derajat Celcius, kira-kira sepuluh kali lebih panas dari inti Matahari.

Baca Juga:  KGP: Penguasa Sengaja Persilahkan Cina Masuk Indonesia & Perbudak Pribumi

“Pengembangan energi fusi nuklir bukan hanya cara untuk menyelesaikan kebutuhan energi strategis China, tetapi juga memiliki signifikansi besar untuk pengembangan energi dan ekonomi nasional China yang berkelanjutan di masa depan,” tulis People’s Daily. Sebagaimana dikutip dari Sindonews (5/12)

Proyek ini merupakan bagian dari keterlibatan China dengan International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER), yang berbasis di Prancis.

Fusi dianggap sebagai Holy Grail (Cawan Suci) energi dan merupakan kekuatan Matahari, tetapi mencapai fusi sangatlah sulit dan sangat mahal.

Proyek tersebut melibatkan 35 negara. Proyek ini telah dimulai sejak 2006 dan diharapkan selesai pada 2025 yang menelan biaya sekitar €20 miliar (USD24 miliar).[sindonews/brz/nu]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan