Formappi: Ada Kongkalikong DPR-Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19

Aggota DPR mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019) (Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Pada September 2019 lalu, gelombang unjuk rasa mahasiswa menolak sejumlah RUU kontroversi meledak di sejumlah kota besar Indonesia. Demonstrasi itu disinyalir sebagai aksi terbesar pascareformasi 1998 silam.

Mahasiswa kompak satu suara meminta DPR menghentikan sejumlah RUU yang dinilai berpihak pada kepentingan oligarki. Di antaranya Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Pemasyarakatan (PAS), hingga Omnibus Law Cipta Kerja.

Meski berujung ketegangan antara aparat keamanan dan mahasiswa, aksi unjuk rasa itu cukup berhasil. DPR periode 2014-2019 akhirnya menunda pembahasan RUU tersebut.

Namun, masalah kembali muncul. Saat dunia tengah sibuk menangani pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), DPR periode 2019-2024 justru melanjutkan pembahasan RUU tersebut. RUU Minerba telah berhasil disahkan di Rapat Paripurna DPR, sementara Omnibus Law Ciptaker dan RUU PAS tengah dalam pembahasan.

  1. RUU Minerba

DPR resmi mengesahkan RUU No.4/2009 pada Selasa (12/5) lalu. DPR terkesan memaksakan pengesahan RUU itu lantaran sejumlah aktivis mengkritik dan meminta dewan tak mengesahkan RUU tersebut. Selain ditolak mahasiswa, RUU itu disinyalir mengutamakan kepentingan oligarki batubara.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menganggap DPR telah mengkhianati konsitusi karena telah mengesahkan RUU tersebut. “Ini menunjukan mereka (DPR) penghianat masyarakat, penghianat tujuan berbangsa yang sudah ada di konstitusi,” kata ketua Bidang manajemen pengetahuan YLBHI, Siri Rahma Mary, dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (13/5).

Melalui RUU itu, kontraktor tambang batu bara raksasa bisa bernafas lega, sebab kontrak yang segera habis mendapat kepastian dalam RUU Minerba. Perpanjangan kontrak itu menjadi isu yang paling ditunggu oleh pengusaha. Ini karena tercatat tujuh kontrak tambang batu bara yang segera habis dalam beberapa tahun ke depan.

Tujuh kontrak tambang batu bara yang segera berakhir adalah; PT Arutmin Indoensia berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indoensia berakhir pada 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utsma pada 1 April 2022, PT Adaro Indonesia pada 1 Oktober 2022, PR Kideco Yaja pada 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal pada 26 April 2025.

Dalam pasal 169A diatur KK dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan. Dalam pasal 16oA huruf a, disebutkan kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun dengan mempertimbangkan penerimaan negara.

Pada Pasal 169A huruf b disebutkan, kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK paling lama 10 tahun, sebagai kelanjutan Operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertsma KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

  1. RUU PAS

RUU PAS yang menuai kontroversi di masyarakat juga dibahas oleh DPR di tengah pandemi Covid-19. Ketua Komisi III DPR, Herman Herry, berjanji melibatkan pemangku kepentingan dalam pembahasan RUU tersebut. DPR mengajak pihak terkait dalam pembahasan RUU itu dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU).

“Mekanismenya memang demikian, Komisi III akan memanggil semuanya dalam RDPU,” kata Herman Herry pada Senin (6/4) silam.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik keputusan DPR menilai kembali pembahasan RUU PAS tersebut. Ketua YLBHI, Asfinawati, menilai RUU PAS bakal memberi jalan istimewa untuk bebas bagi pelaku kejahatan berat seperti pelanggar HAM berat, koruptor, dan teroris. Padahal, pembebasan bersyarat bagi narapidana Tigas kasus itu sudah diatur ketat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

“Bila revisi UU Pemasyarakatan disahkan, maka Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak berlaku lagi. PP 99/2012 mengatur tentang prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat,” kata Asfina di Jakarta pada Rabu (8/4) silam.

Salah satu poin krusial dalam RUU PAS adalah para napi korupsi menjadi tidak wajib mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Tak hanya itu, RUU itu memberi kemudahan bagi napi punya hak mendapat cuti bersyarat dan kegiatan rekreasi. Hal itu diatur berdasarkan Pasal 9 dan 10 RUU Pemasyarakatan. Aturan itu bisa dilakukan sepanjang didampingi oleh petugas.

  1. Omnibus Law Ciptaker

Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker. Penundaan dilakukan untuk menentukan ruang pemerintah dan DPR mendalami subtansi pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja hingga fokus mengatasi pandemi Covid-19.

Baca Juga:  Soal Penyerapan Dana Covid-19 Minim, Iwan Sumule: Bukti Pemerintah Tidak Punya Solusi yang Jelas

Keputusan Joko Widodo dan permintaan Puan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR itu keluar setelah ditentang sejumlah fraksi di DPR dan bebwrapa elemen buruh mengancam bakal berdemonstrasi besar-besaran pada 30 April.

Kendati begitu, DPR tetap melanjutkan pembahasan klaster di dalam Omnibus Law Ciptaker. Pada 20 Mei lalu, DPR menggelar rapat panja dalam rangka pembahasan DIM RUU tentang Cipta Kerja (DIM konsideran, Bab I, dan Bab II) secara virtual. Rapat itu dikritik lantaran digelar parlemen memasuki masa reses dan masyarakat tengah fokus melawan pandemi Covid-19.

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai DPR dan pemerintah memanfaatkan pandemi untuk mengebut pengesahan RUU tersebut. Mereka berharap pembahasan Cipta Kerja juga bisa berlangsung cepat, minimal ketika publik sudah kembali pada normal yang biasanya, RUU Cipta Kerja sudah diketok.

“Saya kira inilah yang kita sedang hadapi saat ini. DPR sebagai wakil rakyat sudah kehilangan rohnya dan memilih untuk melakukan semacam ‘persekongkolan’ dengan pemerintah demi kebijakan yang menguntungkan elit-elit saja. DPR kembali kehilangan daya kuasanya sebagai wakil rakyat di hadapan cengkeraman elit yang lebih mempengaruhi mereka,” kata Lucius kepada Indonesiainside.id.(EP)

Sumber: indonesiainside.id

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan