Jaksa Agung Divonis Bersalah, Pengamat: Belum Ada Kemauan Politik Dari Negara Untuk Berikan Hak Para Korban

Jaksa Agung Burhanuddin menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR, di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis Dalam rapat kerja tersebut Jaksa Agung dan Komisi III membahas soal kasus Jiwasraya. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama)

IDTODAY.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak melakukan evaluasi terhadap kinerja Jaksa Agung ST Burhanuddin. Pasalnya, Jaksa yang bersangkutan telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Pernyataan tersebut disampaikan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti. Menurutnya, Jaksa Agung berperan penting dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Baca Juga:  Utang Pemerintah Tembus Rp7.733,9 Triliun, Politisi Demokrat Sebut Rezim Jokowi Bebani Generasi Berikutnya!

“Jika presiden Jokowi serius untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat sesuai dgn yg diucapkan pada saat kampanye, mekanisme evaluasi harus dijalankan,” tegas Fatia Maulidiyanti sebagaimana dikutip dari Kompas.tv, (7/11/2020).

Menurut Fatia, semestinya Jaksa Agung menerima dan mengikuti tuntutan dari putusan tersebut. Bukan malah mengajukan upaya hukum berikutnya.

“Jaksa Agung telah melanggar sejumlah peraturan perundangan, serta asas kecermatan, profesionalitas dan asas pengharapan yang layak. Karena segala harapan dan kepercayaan publik akan terselesaikannya pelanggaran HAM berat yang tumbuh karena pembentukan berbagai kebijakan yang mendukungnya —baik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan atau UU Pengadilan HAM— tidak boleh diingkari oleh badan atau pejabat pemerintahan,” terang Fatia.

Baca Juga:  Sindir FPI soal Pemakzulan Jokowi, Ade Armando: Kaum Dungu, Bersatulah!

Lebih lanjut Fatia mengatakan, setiap perbuatan Jaksa Agung merupakan kebijakan dan bukan sekedar kutipan biasa. Hal tersebut dikarenakan telah diucapkan dalam kapasitas jabatannya di hadapan Komisi II DPR.

“Hal itu menunjukkan bahwa belum ada kemauan politik dari negara untuk memberikan hak kepada korban sesuai mandat UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM dan untuk mengakui adanya pelanggaran HAM berat di Indonesia yg perlu diselesaikan oleh negara,” terang Fatia[kompas/brz/nu]

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan