Oleh: Hamsia (Komunitas peduli umat)

Pandemi virus corona telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi, baik dilevel global maupun nasional. Siklus perusahaan dibanyak sektor terganggu, yang berdampak pada turunnya produksi, anjloknya pendapatan, hingga munculnya kerugian-kerugian akibat tidak seimbangnya pendapatan dan pengeluaran.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun menjadi masalah serius akibat macetnya bisnis perusahaan. Pun, yang menjadi korbannya kebanyakan dari pekerja informal, dan mereka mulai kebingungan untuk menafkahi keluarganya. Ditambah lagi, beratnya beban kehidupan di tengah adanya wabah Covid-19 ini.

Di tengah PHK 150 ribu orang akibat wabah, pemerintah justru menaikkan alokasi anggaran untuk kartu prakerja menjadi Rp 2 triliun dan menambah jumlah peneriman menjadi 5.6 juta orang. Program ini konsepnya dipaksakan dalam kondisi krisis, sehingga korban PHK dilatih secara online baru diberi tunjangan dan penyelenggaranya dapat uang dari negara. Yang menjadi pertanyaannya, lebih penting mana pelatihan orang ketimbang memberi cash transfer kepada pekerja yang terdampak, terutama pekerja informal?

Kebijakan memberikan kartu pra kerja kepada korban PHK adalah bukan hal yang tepat seperti yang disampaikan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira “konsep Kartu Pra Kerja yang dibanggakan Joko Widodo sangat tidak tepat diterapkan saat pandemi Covid-19. Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Sementara kartu prakerja bisa menjadi jawaban dengan memberikan pelatihan online, maupun offline.”

Tapi di saat terjadi pagebluk Covid-19, program ini tidak perlu diluncurkan. Apalagi sampai menaikkan anggarannya hingga 100 persen, dari Rp 10 trilliun menjadi Rp 20 trilliun untuk 5,6 juta orang. Ini seperti ‘Jaka Sembung’ naik ojek (nggak nyambung). Karena korban PHK sekarang enggak perlu dikasih pelatihan secara online, mereka lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Pra Kerja. Terlebih Kartu Pra Kerja mengharuskan mereka mengikuti pelatihan online agar menerima bantuan. Sementara dana Kartu Pra Kerja yang digelontorkan juga akan terpotong untuk para penyelenggara. (politik.rmol.id).

Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh bapak Bhima Yudhistira adalah hal yang paling tepat untuk saat ini. Bagaimana tidak, ditengah wabah Covid-19 yang setiap harinya selalu memakan korban, justru masyarakat ditakuti dengan PHK massal yang terjadi ditengah wabah ini.

Solusi yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi kondisi krisis ditengah pandemi sungguh tidak efektif, pemerintah lebih memprioritaskan keutungan politik mereka hanya demi penuhi janji kampanye, dan mereka menutup mata dari kebutuhan hakiki rakyat yang seharusnya pemerintah lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.

Sejatinya, pemikiran kapitalis selalu memmbaca peluang dalam kondisi apapun untuk kepentingannya sendiri. Saat semua orang perlu pekerjaan setelah diterpa badai PHK. Ketika rakyat butuh makan saat krisis melanda dampak dari wabah Covid-19. Seolah rezim hadir sebagai pahlawan dengan program kartu pra kerja-nya. Tidak cukup hanya dengan menggulirkan program, kemudian rezim menganggap telah menunaikan kewajibannya mengurus negara. Padahal, kartu pra kerja dipilih secara acak, prosesnya cukup panjang, memakan waktu lama. Apalagi beban rakyat semakin bertambah.

Lain halnya pemimpin dalam sistem Islam. Menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai prioritas tertinggi dan pertanggung jawaban akhirat sebagai tujuan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali dia tidak akan mendapat surga.” (HR Bukhari).

Oleh sebab itu, dalam mengatasi wabah corona beserta segala dampaknya, hendaknya penguasa melakukan ikhtiar terbaik untuk mengurusi rakyatnya. Menyakini bahwa wabah ini datang dari Allah SWT.

Rasulullah bersabda “Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada hari kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Hanya sistem Islamlah yang mampu meniscayahkan pengurusan urusan manusia dengan standarnya adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara menyeluruh termasuk penyediaan sektor ekonomi sumber nafkah bagi para pekerja.

Standarisasi syarat pemberian pekerjaan dalam negara Islam adalah tingkat ketakwaan dan keterikatan para individu pada hukum syariat. Semuanya ditempuh agar warga, baik dalam keadaan ekonomi normal maupun saat terdampak wabah dan krisis, tetap memperoleh pemenuhan nafkah beserta penjagaan stabilitas ekonomi hingga tingkat rumah tangga.

Dan khususnya saat wabah dan krisis, pemerintah menyiapkan dan menberikan bantuan dengan jumlah yang sangat banyak, bahkan berlebih. Dengan kata lain jumlah itu sangat cukup hingga rakyatnya mampu bekerja sendiri mencari rezeki pasca terjadinya wabah.

Sejatinya, pada masa negara Islam Khalifah Umar pernah mengalami krisis  ekonomi yang sangat hebat, rakyat pada saat itu mengalami kelaparan massal, bahkan yang sakit pun ribuan. Roda ekonomi berjalan terseok-seok bahkan sudah sampai level yang sangat membahayakan. Di antara masyarakat ada yang berani menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.

Alhasil, krisis ekonomi ini adalah sunnatullah, bisa dialami oleh sebuah negara termasuk dalam negara Islam. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana khalifah peduli dan memikirkan jalan keluar yang tepat dan cepat dalam mengatasi krisis ekonomi ini. Solusi yang tuntas dan menyeluruh, bukan solusi tambal sulam, apalagi hanya sekedar basa-basi yang penuh sandiwara.

Seorang pemimpin seharusnya tahu, bahwa tanggung jawab seorang pemimpin sangatlah besar kelak di hari kiamat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dalam melayani urusan rakyatnya. Sosok kepala negara yang hanya bisa terwujud jika dia menjalankan dan terikat dengan syariat Islam semata. Wallahu a’lam bish shawab.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan