Oleh. Tri Wahyuningsih (Pegiat Literasi & Media)

Di tengah PHK 150 ribu orang akibat wabah corona ini, pemerintah beberapa waktu lalu justru menaikkan alokasi anggaran untuk kartu pra kerja menjadi Rp. 20 triliun dan menambah jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang. Dikutip dari halaman kompas.com, Kuota pada gelombang pertama pendaftaran Kartu Pra kerja adalah 164.000 orang yang berlangsung sejak Sabtu kemarin hingga Kamis (16/4/2020) pukul 16.00 WIB. Dalam pendaftaran Kartu pra kerja akan berlangsung dalam 30 gelombang dan pendaftaran dibuka setiap pekan. (Jakarta, 12/4/2020)

Konsep kartu pra kerja yang dibanggakan pemerintah sebenarnya sangat tidak tepat diterapkan saat pandemic corona virus disease 2019 (Covid-19). Program ini justru terlihat sangat dipaksakan dalam kondisi krisis, karena korban PHK dimasa pagebluk covid-19 sekarang tidak membutuhkan pelatihan secara online ataupun offline yang menjadi syarat untuk mendapatkan uang dari program kartu pra kerja tersebut. Masyarakat dan korban PHK bila ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui kartu pra kerja diwajibkan mendaftar kemudian mengikuti pelatihan-pelatihan yang telah disiapkan. Padahal, masyarakat terdampak virus corona lebih membutuhkan bantuan langsung tunai dibanding kartu pra kerja. Karena selain persyaratan yang tak mudah, dana yang diterima pun akan dipotong untuk para penyelenggara. Inilah solusi tak efektif yang diambil oleh pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Rakyat butuh makan, bukan butuh pelatihan.

Namun, jika ditelisik lebih jauh kartu pra kerja ini merupakan salah satu kartu sakti yang dijanjikan rezim saat kampanye pilpres tahun lalu. Karena itu, pemerintah berkerja keras menampilkan citra baik ditengah – tengah masyarakat lewat pemenuhan janji kampanye, walau dimasa pandemic yang kian mengganas menyerang rakyat. Ya, prioritas keuntungan politik selalu menjadi yang utama dibandingkan memberikan pelayanan terbaik dan sungguh-sungguh untuk rakyat. Pemerintah menutup mata akan kebutuhan hakiki rakyat, lebih senang membuat pencitraan demi kekuasaan politik.

Carut-marut penyelesaian pemerintah terhadap wabah Corona pun tak menjadi bahan evaluasi atau intropeksi, puluhan tenaga medis berguguran sebab fasilitas kesehatan yang tak memadai, setiap hari bertambah puluhan kasus positif virus Corona tak mampu juga membuka mata pemerintah tentang besarnya tanggung jawab pemimpin terhadap nyawa dan kebutuhan hidup rakyat. Justru, sebaliknya rezim ini semakin abai dan menutup mata serta hati atas jeritan pilu rakyat yang berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan demi bertahan hidup ditengah pandemic Covid-19 ini.

Baca Juga:  Ketika Rakyat Ditimpa Musibah, Perwakilannya Dapat Hadiah?

Rezim Kapitalis; Pemimpin Penuh Pencitraan

Dengan memberi citra positif, seseorang akan terangkat elektabilitas diri dan golongannya. Sementara sebaliknya dengan citra negative seseorang bisa menjatuhkan musuh atau lawannya. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika rezim sekarang memang dikenal hobi melakukan pencitraan. Bahkan demi sukses pencitraan, negara rela menyiapkan anggaran besar untuk membayar para buzzer yang selalu siap menjadi cheerleaders.

Namun sayang, pencitraan itu selalu dengan mudah terbongkar. Karena kebijakan-kebijakan yang diambil seringkali menafikan kepentingan rakyat banyak. Untuk penanganan wabah Covid-19 ini misalnya, pemerintah akan menggelontorkan triliunan dana dengan berbagai program, salah satunya Kartu Pra Kerja.

Tapi siapapun tahu, bahwa hari ini kondisi keuangan negara sedang kolaps. APBN terus mengalami defisit dengan jumlah yang fantastik, hutang luar negeri beserta bunganya yang semakin banyak. Hingga wajar jika ada yang bertanya-tanya, apakah anggaran yang digembar-gemborkan pemerintah itu benar-benar ada atau hanya upaya tipu-tipu pemerintah saja.

Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani menyampaikan bahwa ada beberapa sumber dana yang akan dipakai untuk keperluan program-porgram tersebut. Diantaranya, dari dana sisa anggaran lebih (SAL), dari dana yang disimpan di Badan Layanan Umum dan dari dana yang sebelumnya dialokasikan untuk penyertaan modal negara. Selain itu, pemerintah juga menyebut akan menggunakan dana abadi yang ada, tanpa menyebut dana abadi yang mana. Serta akan menerbitkan surat utang “pandemic bond’’ yang justru sangat kontroversial. Karena jumlahnya sangat besar, juga berjangka Panjang. Dan ditenggarai akan menjadi beban pemerintah dan rakyat di masa mendatang.

Nah, jika dilihat dari berbagai sumber dana yang akan digunakan pemerintah untuk memuluskan program-programnya, salah satunya Kartu Pra Kerja. Maka, sebenarnya pemerintah hanya memutar dana yang ada. Dapat dipastikan hal ini akan berdampak pada pengurangan kinerja sektor-sektor lain, termasuk sektor yang justru bersentuhan dengan kepentingan layanan publik. Ya, pemerintah hanya sedang melakukan kanalisasi saja. Bukan benar-benar sedang memberi solusi atas wabah corona. Pemerintah sedang melakukan tipu-tipu dan politik pencitraan saja, bukan benar-benar  memenuhi kebutuhan hakiki rakyat.  Penguasa dan Negara Kapitalis sungguh sangat abai dalam mengurus dan menjaga umat. Hingga keberadaan penguasa dalam sistem kehidupan hari ini antara ada dan tiada.

Sistem Kepemimpinan Islam Bukan Politik Pencitraan

Daulah Islam pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah mengalami krisis ekonomi yang hebat. Rakyat Daulah Islam kelaparan massal. Yang sakit pun ribuan. Roda ekonomi berjalan terseok-seok. Bahkan sudah sampai level membahayakan. Di antara masyarakat ada yang berani menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya. Bahkan binatang buas pun sampai berani masuk ke perkotaan.

Walhasil, krisis ekonomi ini, sungguh adalah sunnatullah. Bisa dialami oleh sebuah negara. Termasuk Daulah Islam. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana Khalifah peduli dan memikirkan jalan keluar yang tepat dan cepat dalam mengatasi krisis ekonomi ini. Solusi yang tuntas dan menyeluruh. Bukan solusi tambal-sulam. Apalagi hanya sekadar basi-basi penuh pencitraan.

Syariah Islam ternyata telah menuntun Khalifah Umar dengan jelas hingga Ia mampu mengatasi krisis ekonomi yang hebat tersebut dengan baik dan cepat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khathab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, diceritakan bahwa pada tahun 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat dan kemarau. Kelaparan kian menghebat hingga binatang-binatang buas mendatangi orang. Binatang-binatang ternak mati kelaparan. Tahun itu disebut sebagai tahun kelabu. Angin saat itu menghembuskan debu seperti abu. Kemarau menghebat. Jarang ada makanan. Orang-orang pedalaman pergi ke perkotaan. Mereka mengadu dan meminta solusi dari Amirul Mukminin.

Al-Faruq adalah sosok kepala negara yang paling peka perasaannya terhadap musibah itu. Ia amat merasakan beban derita rakyatnya. Ia segera mengambil langkah-langkah penyelesaian yang komprehensif lagi cepat.Hal pertama adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis ekonomi ini. Ia mengambil langkah untuk tidak bergaya hidup mewah. Makanan ia seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi.

Baca Juga:  Oligarki, suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi

Umar pun selalu berpuasa. Pada tahun kelabu, setiap sore ia diberi roti dilumuri minyak. Pada suatu hari ia menyembelih unta dan daging-daging terbaiknya diberikan pada orang-orang. Masya Allah. Inilah pribadi seorang kepala negara yang agung lagi mulia. Sosok kepala negara yang hanya bisa terwujud jika dia menjalankan dan terikat dengan syariat Islam semata.

Inilah Al-Faruq. Inilah teladan kepemimpinannya dalam pemerintahan Islam yang sangat peduli dengan penderitaan rakyatnya. Rakyat memakan makanan yang lebih baik dari makanannya. Ia memikul beban pemerintahan dan beban kehidupan yang juga lebih berat dari yang dipikul rakyatnya. Ia lebih menderita dari derita yang menimpa rakyatnya. Umar tahu betul bagaimana sengsaranya beban yang diderita oleh rakyatnya. Dengan itu ia bersungguh-sungguh memeras otak dan banting tulang mencari solusi yang tepat lagi cepat dalam mengatasi krisis ekonomi yang ada.

Penguasa dan negara dalam kepemimpinan Islam, benar-benar aware atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Tanpa berhitung untung rugi apalagi berpikir mencari untung dari rakyatnya. Hingga sejarah peradaban Islam, kaya dengan kisah menakjubkan tentang ketinggian level kesejahteraannya. Semua ini sangat mungkin terwujud karena aturan hidup yang diterapkannya, berasal dari Allah yang Maha pencipta. Yang telah menetapkan bahwa bumi dan kekayaan yang ada di dalamnya adalah milik umat dan wajib dikelola sesuai syariat yang dipastikan akan membawa maslahat.

Kepemimpinan Islam yang ideal seperti ini, tak hanya mungkin terwujud di masa lalu, tapi juga di masa kini dan masa yang akan datang. Karena syariat Islam datang dari Zat Yang Maha sempurna. Dan datang sebagai solusi atas problem manusia yang tak lekang oleh masa. [Wallahu a’lam]

*Tulisan ini adalah ‘Surat Pembaca atau Opini‘ kiriman dari pembaca. IDTODAY.CO tidak bertanggung jawab terhadap isi, foto maupun dampak yang timbul dari tulisan ini. Mulai menulis sekarang.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan