Salah Kaprah Pemerintah Terbitkan Kartu Pra Kerja Saat Wabah

Kartu Pra Kerja Jokowi, Foto: radioidola.com

Oleh: Anggun Permatasari

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor: HK.01.07/Menkes/239/2020, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah mulai diberlakukan. Salah satu dampaknya adalah beberapa pabrik berhenti beroperasi dan para buruh dirumahkan. Bahkan, banyak perusahaan yang mulai gulung tikar karena mandegnya aktivitas bisnis secara umum. Sehingga, pengusaha terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Namun, di tengah gelombang PHK yang menimpa sekitar 150 ribu orang akibat pandemi, Presiden Jokowi justru mengambil langkah percepatan implementasi Kartu Pra Kerja untuk karyawan yang terdampak Covid 19. Pemerintah melalui Kemenkeu menaikkan alokasi anggaran untuk Kartu Pra Kerja menjadi Rp.20 triliun dan menambah jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang. (Jurnal Patroli News)

Sayangnya, program ini dinilai sangat tidak tepat oleh banyak kalangan. Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, saat krisis seperti ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Pra Kerja. Terlebih program Kartu Pra Kerja mengharuskan mereka mengikuti pelatihan online untuk menerima bantuan. Sementara dana Kartu Pra Kerja yang digelontorkan juga akan terpotong untuk para penyelenggara. (Rmol.id)

Baca Juga:  Mampukah Indonesia Melawan Mafia Global di Balik Impor Alkes?

Hal itu menunjukkan birokrasi yang berbelit-belit. Korban PHK harus mendaftar terlebih dahulu dan mengikuti seleksi tes secara online. Pihak penyelenggara akan mengumumkan hasil tes kemudian dilatih secara online. Kemudian yang bersangkutan diberi tunjangan dan penyelenggaranya mendapat insentif dari Negara.

Tidak semua warga mempunyai komputer portable atau gawai dengan spesifikasi tertentu yang dapat menunjang pelatihan online dan mengerti bagaimana mengoperasikannya. Semua orang saat ini tidak keluar rumah bukan karena malas bekerja tapi karena imbauan pemerintah untuk tetap diam di rumah. Jadi, untuk apa dilakukan tes pelatihan kerja secara online yang pada kenyataannya saat ini semua orang mengalami kesulitan ekonomi, harga bahan pokok melambung tinggi dan daya beli menurun.

Seyogianya pemberian dana secara tunai lebih bermanfaat baik kepada korban PHK maupun pekerja informal seperti pedagang kaki lima, Ojol dan buruh harian lepas yang terdampak Covid 19. Sebetulnya bantuan juga bisa diberikan secara langsung melalui fasilitas air minum, jaringan internet dan listrik gratis kepada masyarakat. Namun kenyataannya, subsidi listrik hanya diberikan kepada pelanggan dengan daya tertentu. Padahal, imbas dari badai Coronavirus ini dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat.

Solusi pemerintah mengatasi kondisi krisis tidak efektif dan tepat sasaran. Pemerintah seakan mengambil kesempatan di kala wabah untuk mewujudkan salah satu program politik saat kampanye dan menutup mata dari kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Begitulah karakter rezim yang lahir dari sistem sekuler kapitalis, mereka hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya tanpa peduli dengan nasib rakyat. Mereka selalu berhitung untung-rugi apabila menyangkut hajat hidup rakyat. Buktinya, di saat dokter dan tenaga medis kekurangan Alat Pelindung diri (APD) pemerintah malah mengekspornya.

Sangat berbeda dengan pemimpin yang tumbuh dari sistem Islam yang menempatkan kemaslahatan rakyat sebagai prioritas tertinggi karena ketaqwaan kepada Allah Swt. Sistem Islam memiliki sistem perekonomian yang kokoh dan tangguh. Dalam syariat Islam, haram hukumnya menyerahkan potensi sumber daya alam kepada swasta apalagi asing. Seluruh sumber daya alam adalah kepemilikan umum milik umat, jadi negara bertanggungjawab mengelola yang hasilnya didistribusikan untuk umat.

Baca Juga:  Kebijakan PSBB Setengah Hati, Lagi Pengabaian Keselamatan Rakyat

Ibnu Abbas Ra. berkata: “Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda; orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir”. (HR. Ibnu Majah).

Syariat Islam sangat menjaga kestabilan harga dengan ekanisme pasar yang baik. Negara akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal, riba, monopoli, dan penipuan. Sehingga, ketika ekonomi lesu rakyat tidak bertambah bebannya dengan sulitnya mendapat bahan kebutuhan pokok apalagi dengan harga yang tinggi.

Dengan sistem ekonomi yang mapan, negara  mampu menjamin kebutuhan dan keselamatan warganya selama masa karantina berlangsung. Kebutuhan pasien, dokter, tenaga medis dan akomodasi rumah sakit sepenuhnya dibiayai pemerintah. Sehingga wabah segera teratasi dan rakyat tidak terbebani.

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan