Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Praktisi Pendidikan)

Keadilan dalam sistem demokrasi kian dipertanyakan. Negara yang disebut sebagai negara hukum ini ternyata diragukan penegakan supremasi hukumnya. Bukan hanya satu dua kali, seringnya persoalan hukum ini menunjukkan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Atau hukum hanya akan menodong pihak kontra rezim, dibandingkan pihak yang pro terhadap rezim.

Seperti kasus Novel Baswedan. Kasus yang mencuat tiga tahun yang lalu ini dikatakan telah menemui titik terang. Ya, pelaku kejahatan yang telah membuat mata Novel Baswedan cacat permanen ini telah berakhir pada putusan 1 tahun jeruji bagi mereka. Sontak publik pun geger dengan putusan yang ‘aneh’ ini.

Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel. (Sumber : detik.com)

Unsur ketidaksengajaan menjadi dalih tuntutan ringan terhadap perilaku. Dikatakan pula bahwa terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban. Sungguh, sebenarnya di luar akal sehat manusia dalih seperti ini mampu menjadikan buronan ini mendapat hukuman yang ringan.

Baca Juga:  Suara Rasa Kemanusiaan: Keadilan untuk Novel Baswedan

Padahal, kita tahu bahwa kasus penyiraman air keras bukan perdana di Indonesia. Seperti kasus penyiraman air keras yang dilakukan Ruslam terhadap istri serta mertuanya pada 18 Juni 2018. Jaksa kemudian menuntut Ruslam sebagai terdakwa dengan pidana penjara delapan tahun. Majelis Hakim PN Pekalongan akhirnya menjatuhkan vonis yang lebih berat kepada Ruslan, yakni 10 tahun penjara. (Sumber : CNN Indonesia)

Kemudian, kasus Rika Sonata terhadap suaminya pada Oktober 2018. Rika yang diketahui menyewa preman untuk menyiram suaminya dengan air keras kemudian dituntut jaksa dengan pidana penjara selama 10 tahun. Majelis Hakim PN Bengkulu lalu menjatuhkan vonis yang lebih berat, yaitu 12 tahun penjara untuk Rika (Sumber : CNN Indonesia). Ada perbedaan bukan dengan kasus Novel Baswedan?

Ini pun disoroti berbagai pihak tak terkecuali Rocky Gerung. Rocky menilai tuntutan satu tahun oleh JPU dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap terdakwa pelaku merupakan tuntutan yang irasional. Untuk itu, pihaknya menggalang gerakan dengan menamai sebagai ‘New KPK’ untuk menghalangi mata publik dibutakan oleh air keras kekuasaan (Sumber : Viva News).

Penulis sepakat bahwa tidak dipungkiri Peradilan terhadap Novel Baswedan dinilai irasional dan sekedar memenangkan kemauan rezim. Ini seperti upaya untuk mengakhiri tuntutan publik untuk mengadili kasus ini. Ya, telah hampir tiga tahun sungguh lucu apabila pelaku tidak juga diketahui. Walhasil, berujung pada penangkapan terhadap kedua pelaku dan putusan yang ‘lucu’. Apakah begitu sulit bagi rezim demokrasi untuk menuntaskan kasus korupsi? Apakah begitu sulit bagi negara demokrasi untuk menciptakan keadilan?

Inilah bukti sengkarut hukum dalam sistem demokrasi. Negara dengan sistem hukum yang berasal dari akal dan hawa nafsu manusia hanya akan menciptakan ketidakadilan. Hukum manusia bersifat fleksibel yang bisa dipakai sesuai kepentingan, tak terkecuali kepentingan rezim yang ingin mempertahankan kedudukannya.

Kasus Novel Baswedan ini sebenarnya menyempurnakan bukti bahwa semua aspek kekuasaan demokrasi (legislatif, eksekutif dan yudikatif) telah menunjukkan kegagalannya dlm memberantas tuntas korupsi. Korupsi bahkan akan terus tumbuh subur dan melingkupi tatanan pejabat pemerintahan. Demokrasi mahal, mahar penguasa sebuah keharusan, dan korupsi akan terus jadi jalan.

Tak akan ditemui keadilan dan kesejahteraan meskipun jargon ini termaktub dalam sila ke lima Pancasila. Keadilan dan kesejahteraan hanya dua istilah semu apabila masih mempertahankan sistem demokrasi. Berapapun nahkoda negara ini berganti, keadilan tak bisa terwujud dalam negeri. Karna muaranya pada hukum yang diterapkan di negara ini.

Hanya Islam yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Bukan hanya dalam persoalan hukum, tapi di setiap aspek kehidupan akan memunculkan kebaikan dan keberkahan. Tak ada ruang untuk korupsi dan selalu ada hukuman yang membuat jera apabila terjadi. Kembalilah pada hukum Allah, maka semua kerusakan ini akan berakhir.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (TQS. Al-Ma’idah: 50)

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan