PD ke PDIP: Apa Salah SBY?

Foto: Herzaky Mahendra Putra (Dok: Istimewa)

IDTODAY.CO – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terus menyerang mantan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat.

Kepala Bakomstra Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mempertanyakan apa sebetulnya salah SBY dan Partai Demokrat ke PDIP.

“Apa salah Demokrat dan Bapak SBY sampai Demokrat dan Bapak SBY difitnah terus? Apa karena mungkin banyak rakyat yang kangen era Bapak SBY dan Demokrat? Soalnya, saat SBY dan Demokrat memimpin Indonesia, rakyat bisa hidup enak, tidak susah seperti sekarang,” kata Herzaky saat dihubungi, Rabu (27/10/2021).

Herzaky menilai PDIP hendak menunjukkan bahwa rakyat kangen terhadap era SBY dimana kemiskinan turun drastis. Dia pun menjabarkan, beda dengan Pemerintahan Jokowi, saat 10 tahun Pemerintahan SBY kemiskinan turun berhasil berkurang 8,42 juta jiwa.

“Kemiskinan turun drastis, pengangguran turun secara signifikan. Sepuluh tahun Pemerintahan Bapak SBY menjadi Presiden, lanjut Herzaky, penduduk miskin berhasil dikurangi sebanyak 8,42 juta jiwa, atau 842 ribu per tahunnya. Sedangkan lima tahun pertama Pemerintahan Joko Widodo, sebelum pandemi melanda, hanya mampu mengurangi 2,94 juta penduduk miskin, atau 588 ribu per tahun. Jauh sekali kan, bedanya?” ucapnya.

Baca Juga:  Aria Bima PDIP: Jika Terapkan Ide Bung Karno, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Capai 8 Persen

Lebih lanjut, Herzaky menyebut saat era SBY pengangguran berkurang secara signifikan sebanyak 3,01 juta orang. Lagi-lagi, Herzaky membandingkan dengan Pemerintahan Jokowi yang hanya mampu mengurangi 140 ribu pengangguran.

“Begitu pula dengan pengangguran. Selama pemerintahan SBY, pengangguran berkurang sebanyak 3,01 juta orang. Atau, 301 ribu orang per tahun. Jauh di atas era Jokowi, yang hanya mampu mengurangi pengangguran 140 ribu selama lima tahun, atau 28 ribu saja per tahun. Apalagi pasca pandemi covid-19 ini. Jumlah pengangguran dan kemiskinan melonjak drastis. Wajar saja kalau banyak rakyat kangen era Bapak SBY dan Demokrat,” ujarnya.

Herzaky pun mengaku Partai Demokrat semakin heran dengan sikap PDIP lantaran menyinggung kecurangan Pemilu hingga bansos. Dia menyinggung justru PDIP lah yang menyembunyikan Harun Masiku terkait Pemilu dan kadernya Juliari Batubara yang tertangkap basah kasus bansos Corona.

“Lagi pula, kalau bahas-bahas kecurangan pemilu, jelas-jelas yang tertangkap tangan sedang menyuap komisioner KPU itu kan kader PDIP di Pemilu 2019. Apalagi, salah satu kadernya, Harun Masiku, masih buron sampai dengan saat ini. Kalau Pemilu 2009, tidak ada kasus seperti itu. Jangan memutar balikkan fakta. Rakyat juga tahu. Belum lagi kalau bahas-bahas bansos, jelas-jelas yang tertangkap basah korupsi bansos di kala pandemi, kan Juliari Batubara, kader PDIP. Bukan Demokrat,” tuturnya.

“Saran kami, mari kita isi ruang publik, dengan narasi-narasi positif berdasarkan data dan fakta, untuk ikut mengedukasi dan memberikan teladan untuk masyarakat. Jangan malah ikut-ikut menyebarkan tuduhan tak berdasar, apalagi kabar bohong dan fitnah,” lanjutnya.

“Pak Jokowi punya kelebihan dibanding pemimpin yang lain. Beliau adalah sosok yang turun ke bawah, yang terus memberikan direction, mengadakan ratas (rapat kabinet terbatas) dan kemudian diambil keputusan di rapat kabinet terbatas. Berbeda dengan pemerintahan 10 tahun sebelumnya, terlalu banyak rapat tidak mengambil keputusan,” sebutnya.

Sindiran kedua yang disinggung Hasto yakni kecurangan masif di Pemilu 2009. Hasto menuturkan secara kualitatif terjadi kecurangan secara masif saat Pemilu di era SBY. Dia mengatakan ada manipulasi pada data daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009.

“Kemudian aspek kualitatifnya, bagaimana penyelenggaraan pemilu. Pada 2009 itu kan kecurangannya masif, dan ada tokoh-tokoh KPU yang direkrut masuk ke parpol hanya untuk memberikan dukungan elektoral bagi partai penguasa. Ada manipulasi DPT dan sebagainya,” tuturnya.

Kemudian sindiran ketiga yakni ketika Hasto menyindir soal gaya komunikasi SBY dengan mengarang lagu. Hal ini disampaikan saat berbicara terkait pengganti juru bicara presiden.

“Komunikasi politik presiden tidak bisa dilakukan dengan mengarang lagu atau menulis buku tebal, namun harus dilakukan proporsional, efektif, dan menyentuh hal-hal yang bersifat strategis,” imbuhnya.

Sumber: detik.com

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan