Dibayangi Sergapan Buaya, Guru Honorer di Sukabumi Ngajar di Atas Perahu Dalam Keadaan Hamil

Belajar luring di perahu- Siti Saroyah S.Pd, seorang guru di SMP 4 Cibitung, Dusun Ciloma, Desa/Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi, karena kesulitan sinyal terpaksa menggelar kegiatan belajar luring di atas perahu di muara Cikaso karena tak ada pilihan tempat lain/tribunJabar

IDTODAY.CO – Perjalanan seorang guru untuk mengabdikan ilmunya terkadang harus melalui rintangan yang tidak bisa dibilang muda. Hal itu sebagaimana tergambar dalam kisah seorang guru honorer di Sukabumi.

Guru tersebut harus berjibaku setiap hari untuk bisa memberikan pendidikan yang total pada anak-anak didiknya, meskipun harus dilakukan dari atas perahu yang tidak bisa dibilang remeh.

Bahkan, bahaya selalu nyawanya harus selalu dipertaruhkan lantaran mengajar di atas perahu di muara sungai yang masih banyak buayanya.

Baca Juga: Disebut Sesat Karena Orasi di Gereja, Gus Miftah: Saya Bersyukur Alhamdulillah

Beliau adalah Siti Saroyah S.Pd, seorang guru di SMP 4 Cibitung, Dusun Ciloma, Desa/Kecamatan Cibitung, Kabupaten Sukabumi.

Saat pandemi seperti sekarang ini, beliau beliau harus berpikir extra untuk bisa memberikan pelajaran secara daring kepada murid-muridnya yang banyak tidak memiliki HP dan susah sinyal.

Kendati demikian ia memilih belajar luring (luar jaringan) dengan mendatangi siswa. Diapun harus menghadapi berbagai kesulitan, salah satunya dari akses menuju sekolah atau ke tempat luring.

“Untuk kesulitan akses ke Ciloma emang kesulitannya di transportasi, ketika jalan darat emang ada jalan darat tapi harus melewati hutan, jalan air kalau posisinya air naik gak bisa berangkat juga.” Terangnya via telepon pada TribunJabar.id, Minggu (2/5/2021).

“Terus kemarin kendala gara-gara corona, pembelajaran tidak efektif apalagi kan ditutup, jadi hanya dua sampai 3 hari dalam seminggu, terus untuk semester dua sekarang juga sama, jadi kita harus ngasih soal ke tiap siswa,” ujarnya

Baca Juga: Ingatkan Umat Islam, Habib Syech: Ngaku NU, Tapi Khutbah di Gereja Itu Bukan Ahlus Sunnah

Karena kesulitan sinyal, ia bersama muridnya terpaksa belajar di atas perahu di muara Cikaso karena tak ada pilihan tempat lain.

Saat belajar di atas perahu di muara Cikaso, ia dan muridnya dibayang-bayangi dengan sergapan buaya muara. Karena buaya itu kerap muncul ke permukaan air dan sering kali jadi ‘penonton’.

“Jadi kesusahannya sinyal, kalau khawatir (sergapan buaya, red) pasti ada karena tidak ada cara lain harus gimana, jadi kita kalau misalkan kemarin di sekolah gak bisa, jadi inisiatifnya itu di atas perahu.” Ucapnya

“Kemarin kan kita pas belajar di atas perahu itu di Cikaso, kalau di Cikaso terlalu deket dengan jalan kemarin itu kan, takutnya tidak di perbolehkan juga. Jadi kemarin kita di atas perahu terus di pinggir sungai di bawah pohon,” imbuhnya.

Belajar di atas perahu tersebut menjadi pilihan lantaran muridnya tak hanya berasal dari wilayah Cibitung, ada juga dari Kecamatan Tegalbuleud, sehingga tempat itu dipilihnya karena berada di tengah-tengah.

“Siswa pun ada dari Tegalbuleud, ada di Cibitung. Jarak ke sekolah kalau lewat air 45 menit, kemudian jalan kaki deket. Tapi anak anaknya yang lebih extrime, halus melewati turun gunung naek gunung,” ucapnya.

Saat ini, guru berumur 27 tahun ini harus berjuang ekstra, karena mengajar dalam kondisi hamil. Terlebih ia harus mengantarkan soal ujian secara langsung ke setiap siswanya.

Hal itu dilakukan karena soal tidak bisa dikirim melalui internet atau aplikasi perpesanan karena tak ada sinyal.

“Paling kendala sekarang untuk pembagian soal ujian sekolah ke anak harus ngasih langsung ke anaknya, gak bisa melalui media internet atau pake HP kita kesulitannya di sinyal.” Terangnya

Baca Juga: Viral, Pramugari Cantik Momong Bayi Penumpang Yang Sedang Sakit, Auto Banjir Pujian

“Apalagi saya sendiri sekarang lagi hamil jadi tantangan juga luar biasa harus turun, naik perahu,” urainya.

Siti Saroyah mengatakan, ia sudah mengajar sekitar tiga tahun di SMP tersebut. Saat ini ia menerima gaji setiap tiga bulan sekali. Nominalnya pun sangat memprihatinkan, dia hanya dibayar per jam atau sebulan dapat Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu saja.

“Ngajar sudah 3 tahun menjadi honorer gaji kadang 300 kadang 400 tergantung jam per bulan. Biasanya gajihan tigabulan sekali,” jelasnya.

Di akhir keterangannya, Siti Saroyah berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib guru yang berada di pelosok seperti dirinya.

Ia berharap, pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru di pelosok. Terlebih perjuangan mereka dalam mengajar cukup berat.

“Harapannya mudah-mudahan kesejahteraan guru terpencil bisa diperhatikan, apalagi honorer yang hanya mengandalkan hasil dari honor pembagian jam saja kalau dihitung dengan ongkos sudah habis dipake bensin gaji. Dan juga mudah-mudahan sinyal dan transportasi di Ciloma bisa bagus,” harapnya.

Baca Juga: Miris, Janda di India “Angkut” Jenazah Suami Dengan Becak Karena Tidak Kebagian Ambulans

Tulis Komentar Anda di Sini

Iklan